Rabu 08 Jul 2020 04:31 WIB
Hamka

Relevankah Tafsir Al-Azhar Hamka Dalam Politik Indonesia?

Apakah tafsir Al-Azhar Hamka revenas dengan situasi terkini?

Tafsir Al Azhar Buya Hamka
Foto:

Persoalan kriteria siapa yang layak mendapat kekuasaan, memegang suatu jabatan, dijelaskan Hamka dalam salah satu episode kisah Ibrahim, yaitu dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 124-126. Hamka menyatakan, setelah dilaluinya segala ujian  dan dipenuhinya dengan sebaik-baiknya, Allah kemudian menjadikan Ibrahim sebagai Imam bagi segenap manusia.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan, bila bagian ayat tersebut memberikan pelajaran yang sangat dalam tentang jabatan yang begitu mulia yang dianugerahkan Tuhan kepada seorang di antara Rasul-Nya. Setelah Ibrahim lulus dalam berbagai ragam ujian yang berat itu dan diatasinya segala ujian itu dengan jaya, barulah Tuhan memberikan jabatan kepadanya. Imam adalah orang yang diikuti, orang yang menjadi pelopor, yang patut ditiru diteladani, baik berkenaan dengan agama dan ibadah, atau akhlak

Dalam tafsir surat al-Baqarah ayat 247 dan 248 yang diberi judul ”Memilih Pemimpin”, Hamka, menyatakan bahwa Alquran meninggalkan dua pokok dasar buat memilih orang yang akan menjadi pemimpin atau pemegang puncak kekuasaan. Pertama, ilmu, kedua tubuh, terutama ilmu berkenaan dengan tugas yang sedang dihadapinya, sehingga dia tidak ragu-ragu menjalankan kepemimpinan.

Yang terpenting sekali ialah ilmu dalam mempergunakan SDM. Pemimpin tertinggi tidak perlu tahu segala cabang ilmu, tetapi wajib tahu memilih tenaga yang akan ditugaskan menghadapi suatu pekerjaan. Itulah ilmu pemimpin. Meletakkan orang pada tempatnya, the right man in the right place.

                                  ******

Relevansi sebuah karya tafsir dapat dilihat sejauhmana hasil penafsiran tersebut dapat membangun konstruk pengetahuan untuk masa kini. Wacana pemisahan antara urusan agama semata-mata dan urusan umum adalah pilihan yang dilakukan Hamka, sesuai dengan latar belakang pengalaman dan pengetahun tentang ke-Indonesiaan yang dimiliki penafsir.

Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara Islam yang mendasarkan tatanan kenegaraannya berdasarkan syariat Islam. Maka urusan kekuasaan, politik, dan pemerintahan yang dianggap sebagai urusan umum, merupakan perspektif yang cukup moderat bagi umat Islam. Meskipun urusan pemerintahan adalah urusan umum, namun  harus terhindar dari keputusan yang tidak sehat buat umat beragama. Untuk itu semua keputusan yang diambil oleh ūli al-amri harus berdasarkan keputusan musyawarah.

Dalam hal ini, melalui tasfir al-Azhar, Hamka berpesan bila musyawarah merupakan kunci untuk merawat kebinekaan sehingga tidak ada kelompok yang dominan dan kelompok yang merasa terdzolimi dalam wadah NKRI.  Sebagaimana diketahui dalam sejarah menjelang kemerdekaan Indonesia, kelompok Islam terlibat aktif dalam meletakkan dasar-dasar negara. Apakah Islam dijadikan sebagai dasar negara atau hanya menjadi sumber nilai moral.

Perdebatan tersebut mengemuka dalam sidang BPUPKI. Sebagian kelompok Islam menghendaki adanya persatuan antara negara dan agama Islam, sehingga Islam menjadi dasar negara. Di lain pihak, golongan nasionalis menghendaki adanya pemisahan antara agama dan organisasi. Mereka menganjurkan agar jangan mencampurkan agama dan perserikatan. Begitu juga kaum nasionalis berpendapat sama lebih jelas menyebut negara dipisahkan dari agama tertentu.

Hamka memiliki sikap hubungan dengan pemerintah yang dinamis. Beliau bersedia menerima jabatan sebagai ketua MUI yang pertama dengan pengibaratannya yang sangat terkenal atas MUI bagaikan kue bika. Dengan ibarat ini, Hamka ingin menjelaskan kepada umat Islam bahwa kedudukan MUI itu ibarat orang memasak kue bika, apabila pengapiannya terlalu besar dari bagian atas maka kue itu akan gosong bagian atasnya, dan apabila pengapiannya terlalu besar dari bagian bawa maka kue itu juga akan gosong bagian atasnya.

Dinamisme hubungan Hamka dengan pemerintah tercermin dalam beberapa sikap ketika beliau memimpin MUI. MUI pernah mengeluarkan fatwa larangan mengucapkan selamat natal bagi orang Islam, di mana fatwa tersebut jelas berbeda dengan sikap pemerintah pada saat itu. Bahkan perbedaan itu semakin nyata ketika Buya Hamka harus mundur dari kepemimpinannya di MUI karena ketidakmauannya untuk mencabut fatwa tersebut.

Hamka, sebenarnya tidak terlalu marah kepada Soeharto, namun kecewa dengan Menteri Agama pada saat itu yang terkesan memaksakan pendapat pada sikap MUI.

Dengan demikian, Hamka melalui tafsir al-Azhar mengajarkan Islam yang kritis, di mana Islam telah menerima NKRI dan umat Islam wajib taat kepada pilihan dan keputusan tersebut, namun ummat harus teguh pendirian dan terlibat aktif dalam muswarah kebangsaan sehingga nilai-nilai luhur dapat mewarnai segala aspek kehidupan keIndonesiaan.

Dalam hal ini Hamka berpesan agar umat islam tidak menjadi dilematis dan canggung antara patuh pada al-Qur`an sebagai pedoman hidupnya dan patuh pada aturan kenegaraan dan kebangsaan yang berlaku.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement