REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveler
Belum hilang dalam ingatan kita bagaimana hukum yang tidak adil terjadi pada kasus penyidik KPK Novel Baswedan.
Seakan tak cukup pengorbanan hilangnya satu mata yang diberikannya, beberapa hari lalu terjadi lagi kasus OTT pejabat negara. Kali ini seorang bupati dan ketua DPRD yang keduanya adalah suami-istri!
Di antara kesulitan bertubi-tubi yang dialami negeri ini, rasanya perilaku korupsi yang dipertontonkan para pejabat itu seperti undangan untuk datangnya bencana yang lebih banyak lagi.
Kelindan hukum yang serba tidak jelas itu adalah perilaku suap yang telanjang di depan mata. Kita seakan sudah bisa menebak ending dari kasus bupati dan istrinya itu nanti.
Islam secara tegas melarang perilaku korup dan suap. Satu peristiwa terjadi di masa Rasulullah SAW, seorang budak mengambil mantel ghanimah padahal harta rampasan perang itu belumlah dibagikan.
Budak itu lalu terbunuh dan Rasulullah SAW mengatakan ia akan terbakar api neraka. “Seutas tali sepatu sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas tali sepatu akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan).”
Khalifah Umar ibn Khattab dan cicitnya Khalifah Umar ibn Abd Azis adalah contoh pemimpin yang sangat tegas pada para pelaku korup dan suap. Ketegasan hukum itu membuat semua orang jeri untuk mencobanya.
Umar ibn Abd Azis memberikan gaji yang besar untuk para pejabat negara, 300 dinar (setara dengan Rp1,2 Miliar). Kesejahteraan itu lebih dari cukup, sehingga tak ada ampun bagi pejabat yang melakukan korup atau suap.
Pada masa Daulah Abbasiyah, Khalifah Jafar al-Mansur telah berinisiatif mendirikan Diwan al-Musadirin seperti yang ditulis Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam Prohibits All Forms of Corruption”
Dewan ini bertugas menangani persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah. Lembaga ini semacam KPK yang kita kenal sekarang.
Omer Duzbakar dalam artikelnya, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The Bursa Shari’a Court Records of 18th Century” menyebutkan, tradisi ini dilanjutkan pada masa Daulah Utsmani.
Pada masa Sultan Muhammad IV tak hanya dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat, ia juga membentuk lembaga pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau yang disebut Mazalim.
Hukuman yang diberikan pada penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi adalah penjara dan dicopot dari jabatannya.
Pada kasus berat diberlakukan hukum pembuangan ke pengasingan. Seperti yang tercatat pada kasus mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi, ia diasingkan ke Mytilene.
Semua hukuman itu disertai kewajiban untuk mengembalikan harta yang dikorupsi. Pada abad ke 18 mulai diberlakukan hukuman mati untuk para pelaku korupsi. Perilaku korup dan suap ini mengingatkan saya pada umat Nabi Syuaib di Negeri Madyan yang berlaku curang dalam timbangan. Hingga Allah turunkan azabnya.
''Kemudian mereka mendustakan Syuaib lalu ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan, sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar.'' (QS Asy syu'araa: 189).
Ah, semoga tidak terjadi di negeri ini…