Kamis 02 Jul 2020 04:55 WIB

Afrah Al Shaibani, Hakikat Kehidupan Membawa Jadi Mualaf

Perjalanan Afrah menjadi Muslimah membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti / Red: Ani Nursalikah
Afrah Al Shaibani, Hakikat Kehidupan Membawa Jadi Mualaf
Foto:

Menikah

Tepat musim panas, Afrah bersama kekasihnya memutuskan pindah ke Azusa Pacific University (APU) di Kalifornia. Di sana, Afrah menikah. Suaminya Muslim, namun sejak mereka dekat keduanya tidak saling membahas agama dan cenderung jarang mempraktikkan ibadah.

Meski tidak membahas masalah agama, Afrah diam-diam mulai membaca buku tentang Islam. Namun, buku-buku itu ditulis oleh penulis non-Muslim. Salah satu buku yang dibacanya adalah karya Anis Sorosh.

"Aku merasa bersalah karena gagal mencegah temanku memeluk Islam. Seharusnya, ia berpaling pada gereja bukan Islam. Sebab, saat itu aku berpikir Islam adalah agama buatan manusia. Aku pikir dengan membaca buku ini, aku dapat mengembalikan temanku kepada Kristen," ujar Afrah.

Di APU, sang suami memilih jurusan agama. Setelah menghadiri kelas, ia mengatakan kepada Afrah, semakin kuat niatnya belajar agama Kristen maka akan semakin dekat baginya untuk memeluk Islam. "Kami berdua mulai berdebat tentang agama. Ia mengatakan padaku untuk belajar tentang Islam. Aku berkata padanya, tentang pengetahuanku soal Islam," ujar Afrah.

Melihat tanggapan Afrah, sang suami memintanya belajar tentang Islam langsung dari penulis Muslim. Sejumlah buku Islam karya penulis Muslim diserahkan pada Afrah. Selanjutnya, ia diajak suaminya untuk belajar tentang Islam di sebuah masjid lokal. 

"Pertanyaanku waktu itu, apa perbedaan belajar langsung dari Muslim dan non-Muslim?" katanya.

Akhirnya, Afrah memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Di awal Afrah merasa begitu berat. "Aku belum tahu apakah Islam itu benar. Aku merasa malu. Tapi akhirnya, aku merasa putusan itu merupakan yang terbaik," ujarnya.

Perjalanan Afrah menjadi Muslimah membutuhkan waktu bertahun-tahun. Kondisi itu tidak terlepas dari banyaknya asumsi yang muncul dalam pemikiran Afrah. Bahkan alasan pertama dia menjadi Muslim bukanlah karena mengikuti sang suami. Justru dia kemudian bercerai dengan suaminya.

Dibalik masalah yang dihadapinya, keislaman Afrah semakin kuat dan dalam. Namun sebelum memeluk Islam, dia sempat memiliki pemikiran yang berbeda.

Dahulu dia berpikir kebenaran itu milik agama Kristen. "Tidak pernah terpikir olehku untuk mencari kebenaran di luar Kristen," ungkapnya.

Kemudian dia merasa Alkitab merupakan firman Allah sejati. "Ini adalah asumsi yang buruk. Sebab, gereja melarangku untuk berpikir objektif. Ketika mempelajari Islam, aku harus memulai dari awal. Saat itulah sikap kritisku tersalurkan. Sebab, Islam menerima segenap pendapat, Islam pun menjawab semua pertanyaanku," ujarnya.

 

Pandangan negatif juga dirasakannya terhadap Islam, bahwa Islam tidak menghargai perempuan dan lebih memihak laki-laki. "Hal sebenarnya adalah laki-laki memegang peranan penting dalam keluarga. Tapi Perempuan juga memiliki tanggungjawab yang sama pula. Jadi, ada semacam keseimbangan yang dibangun dalam Islam," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement