Kamis 25 Jun 2020 16:24 WIB

Penyimpangan Sejarah Hubungan Islam dan Pancasila

Perdebatan soal Pancasila jangan sampai membenturkan bangsa.

Perdebatan soal Pancasila jangan sampai membenturkan bangsa. Suasana rapat BPUPKI
Foto:

Kesadaran akan peran penting religiusitas dan ketuhanan dalam dasar negara ini lalu ditandaskan oleh Soekarno. Dalam pidato 1 Juni 1945, ia menyatakan, “Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!” Selanjutnya ia menambahkan, “Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan… ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” Tekanan ketuhanan sebagai dasar negara ini ia tegaskan melalui kalimat, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!”

Dengan demikian, ketuhanan menjadi kalimat bersama (kalimatun sawa’) antar-kelompok nasionalis-religius dengan Islam-nasionalis. Keduanya berbeda soal posisi Islam dalam dasar negara, namun satu kata soal keharusan ketuhanan sebagai bagian utama dari dasar negara. Ketika menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima, maksud Soekarno ialah menempatkannya sebagai “akar tunggang” Pancasila. Artinya, sila kebangsaan, kemanusiaan, musyawarah dan kesejahteraan sosial dibangun di atas akar ketuhanan. 

Dalam kaitan ini, ketuhanan yang digagas Soekarno ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diamalkan secara beradab dan berbudaya. Sehingga maksud dari frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”, ialah pengamalan dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bertuhan secara kebudayaan artinya beragama secara beradab dan toleran. Menurut As’ad Said Ali dalam Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009: 160), karena menggagas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sila dalam Pancasilanya, pidato Soekarno lalu diterima secara aklamasi sebagai bahan baku bagi perumusan dasar negara.

Mengapa? Karena sila ketuhanan ini melegakan dua kelompok. Kelompok Islam sepakat sebab di dalam dasar negara memuat ketuhanan yang merupakan cerminan dari tauhid. Demikian pula kelompok nasionalis menerima karena ketuhanan tersebut merupakan prinsip umum keagamaan yang tidak mewakili doktrin agama tertentu. 

 

Piagam Jakarta

Visi ketuhanan baik dari kelompok Islam maupun nasionalis ini berjalin kelindan dengan spirit kebangsaan. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Islam bersedia mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, karena pertimbangan persatuan nasional. Pagi hari menjelang Sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Bung Hatta melobi Ki Bagus Hadikoesoemo, Kiai Wahid Hasyim, Kasman Singedimedjo dan Teuku Hasan. Tokoh-tokoh Islam ini sepakat mengganti “tujuh kata” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena mengutamakan persatuan, apalagi kemerdekaan bangsa sedang di bawah ancaman Sekutu. 

Spirit kebangsaan ini juga dikembangkan oleh Soekarno. Banyak orang tidak mengetahui, bahwa Soekarno bersikukuh dengan “tujuh kata” tersebut demi terjaganya persatuan. Ketika perdebatan tentang “tujuh kata” ini mengalami kebuntuan, pada Sidang Kedua BPUPK, 16 Juli, dengan berlinang air mata ia menghimbau kelompok nasionalis agar menerima Piagam Jakarta demi tercapainya kesepakatan tentang dasar negara (Yudi Latif, 2011: 81). Konsen Soekarno terhadap aspirasi Islam ini ia lanjutkan dengan menempatkan Piagam Jakarta sebagai nilai yang menjiwai UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959. 

Dengan demikian, jika saat ini terdapat tuduhan sekularisasi terhadap Pancasila, atau Soekarno; maka tuduhan tersebut tidak berpijak pada fakta sejarah yang tepat. Kita harus belajar dari para perumus Pancasila yang mengimani ketuhanan pada satu sisi, namun tetap membangun nasionalisme pada saat bersamaan. Tidak ada paradigma sekular di dalam Pancasila, karena tokoh-tokoh Islampun selalu mengutamakan persatuan bangsa di atas kepentingan kelompok.  

Dalam konteks inilah, perdebatan terkini tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) selayaknya tidak membangkitkan konflik ideologi antar-anak bangsa. Sebab konflik tersebut sebenarnya berangkat dari pemahaman deviatif atas hubungan Pancasila, ketuhanan dan Islam. Semua pihak harus kembali pada spirit awal pendiri bangsa yang mengutamakan persatuan di atas perbedaan.

 

 

*Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement