REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Seorang manusia yang hidup di abad modern ini, dituntut untuk mengumpulkan, dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya agar bisa hidup layak, serta tenang menghadapi masa depan diri, anak dan cucu. Pada saat itu orang-orang tidak peduli lagi dari mana harta dia dapatkan.
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Erwandi Tarmizi, Rasulullah Saw bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
"Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram." (HR Al-Bukhari.
Orang-orang tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Sebagian manusia tidak pernah peduli akan kaidah rabbani dalam mencapai tujuan mencari harta, kelompok ini dianjurkan untuk memeriksa kembali akidah mereka, di mana mereka telah menjadikan dirham sebagai tuhannya, dan tidak mengindahkan perintah Allah SWT.
Rasulullah SAW mendoakan kehancuran untuk kelompok ini dengan sabdanya:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ، وَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ
"Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian...( HR Al-bukhari.
Rasulullah SAW merupakan seorang yang dikabulkan doanya. Apabila dia mendoakan kehancuran untuk para pemuja harta, niscaya kebinasaan akan menimpa mereka.
Mereka bukan lagi hamba Allah yang patuh, dan tunduk dengan perintahNya, karena tautan hati mereka terhadap harta menyamai, bahkan melebihi hubungan mereka terhadap Allah. Apabila berbenturan antara keuntungan niaga dengan syariat Allah niscaya perintah Allah dikesampingkannya.
Mereka tidak meyakini rezekinya berasal dari Allah, mereka mengira bahwa pencapaian-pencapaian dunia mereka murni keahliannya dirinya berniaga, mereka berujar seperti ucapan Qarun:
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." (QS Al Qashash: 78).
Padahal Allah telah berfirman:
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukur kepada-Nya." (QS Al Ankabut: 17).
2. Sebagian lagi, orang-orang yang masih memiliki dhamir (hati) yang peka, akan tetapi karena mereka sedari kecil tidak pernah mengerti, dan mempelajari ketentuan Allah tentang muamalat, kelompok ini mau tidak mau akan melanggar syariat Allah saat mengumpulkan harta karena ketidaktahuannya.
Mereka adalah yang dimaksud Ali bin Abi Thalib:
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
"Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus", sebagaimana dinukilkan Abu Layts, dalam Tanbih Al Ghafilin.