Jumat 19 Jun 2020 04:31 WIB
Buya Hamka

Bung Hatta dan Buya Hamka: Demokrasi Kita di Tahun 1960-an

Kisah bung Hatta dan Buya Hamka tentang jalannya demokrasi di era Sukarno

Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.
Foto:

Buku Demokrasi Kita karya Bung Hatta itu terdiri dari 35 halaman, sehingga tak mungkin semua bisa dimuat dalam artikel ini. Ini sekali lagi, karena keterbatasan halaman.

Meski begitu ada yang menarik dalam buku itu. Yakni, saat Hatta dengan terus terang mengkritik Sukarno. Ini membenarkan sinyalemen yang sudah lama berkembang semenjak saat Hatta mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden beberapa tahun sebelumnya. Antara kedua proklamator ini diam-diam terjadi perang dingin. Begini bunyi sepenggal bagian tulisan tentang sosok Sukarno yang kala itu tengah berada di puncak kekuasaan.

...Bagi saya, yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan sukses atau gagal. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil, kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran objektif yang akan menentukan dalam hal ini. Akan tercapai atau tidak kemakmuran rakyat dengan sistem itu—kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya?

Sanggupkah dia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempo yang singkat? Dapatkah dia menghentikan inflasi yang terus menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama—inflasi yang membawa orang putus harapan? Itulah ukuran objektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!

Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada tanah airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif utama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya sendiri.

Tetapi, berhubung dengan tabiat dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya dia hanya memandang garis besarnya. Hal-hal mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaan rencana, tidak dihiraukannya. Sebab itu dia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya itu.

Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistophelesd alam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah 'ein Teil jener Kräfte, die stets das Bose will undstets das Gute schafft'—satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik—Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu.

Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.

Tadi saya katakan, demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya.Tetapi bahwa dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement