Senin 15 Jun 2020 12:58 WIB
Islam

Islam dan Pancasila: Kisah Sejak BPUPKI Hingga RUU HIP

Kebadian kisah sejak zaman BUPKI hingga kini

SIdang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Foto:

Pada sidang BPUPKI sebenarnya saat itu ada tujuh usulan dasar negara yang diiventarisir oleh Panitia 8 BPUPKI, yakni kebangsaan dan ketuhanan, kebangsaan dan kerakyatan, kebangsaan, kerakyatan, dan ketuhanan, kebangsaan, kerakyatan, dan kekeluargaan, kemakmuran hidup bersama berpegangan teguh pada tuntutan Tuhan yang Maha Esa, agama negara adalah islam, kebangsaan kerakyatan dan Islam, Jiwa Asia Timur Raya. Dan inilah kemudian menyebabkan dalam rapat Panitai 9 (Tim Kecil BPUPKI) kemudian disepakati bila Ketuhanan ditempatkan sebagai sila pertama karena

Nah, itu merupakan aspirasi terbesar yeng berkembang di rapat BPUPKI.
Meski begitu, Ki Bagus dan para tokoh Islam saat itu belum menyepakati usulan tersebut. Dalam forum sidang kedua "rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945' Ki Bagus berkeras pada rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Usulan ini terus ditolak oleh 'golongan kebangsaan'.

Maka rapat berjalan dengan debat yang panas, Saking panasnya KH Abul Kahar Muzakir --karena keinginan kelompok Islam selalu ditolak -- mengusulkan sebuah pendapat 'esktrem'  bahwa  semua yang berbau Islam seperti penyebutan Allah atau Istilah agama Islam lainnya dicoret saja dalam undang-undang dasar.

Muzakir mengatakan, hal ini sembari emosi dengan memukul meja (Ki Bagus pada kesempatan lain ikut pula menjadi emosi dengan memulai pembicaraan seraya mengucap kalimat tawa'ud: Aku berlindung kepada Allah terhadap godaan setan yang terkutuk.

''..Kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu,'' kata Muzakir sembari mengusulkan kata 'rahmat-Nya', 'berkat-Nya', 'pertolongan-Nya' ikut juga dicoret saja.

Usulan 'ekstrem' ini kemudian ditolak langsung Sukarno (Ketua Panitia Kecil BPUKI). "Tuan Ketua, kami tidak mufakat atas usul Tuan Muzakir itu. Terima kasih," kata Sukarno.

Melihat memanasnya situasi maka Kiai Sanusi mengambil inisiatif agar sidang ditunda supaya bisa berpikir tenang. Usulan disetujui ketua sidang, Radjiman Wedyodingrat.

"Nah, selesai sidang, maka Bung Karno selama semalam penuh melakukan lobi kepada para tokoh Islam. Ketika sidang dibuka Bung Karno langsung meminta agar usulan kelompok Islam diakomodasi, seperti Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Hasil lobi Sukarno yang dilakukan selama semalaman ini kemudian disepakati dan dimuat dalam Piagam Jakarta. Jadi, jasa Bung Karno dalam Piagam Jakarta sangatlah besar,'' kata Lukman Hakiem, mantan staf M Natsir dan staf Ahli Wapres Hamzah Haz. Dia juga banyak sekali menulis biografi para tokoh bangsa.

Bukan hanya itu, lanjut Lukman sikap Sukarno atas rumusan Piagam Jakarta yang memuat 'tujuh kata' itu tak tergoyahkan ketika ada lobi dari tokoh Indonesia Timur yang beragama Nasrani dengan dibantu Hatta, agar tujuh kata terebut dihilangkan. Sukarno tetap tidak mau merubah pendiriannya karena itu merupakan hasil kesepakatan bersama.

''Maka Hattalah yang kemudian maju melobi kelompok Islam. Saat itu kebetulan hanya Ki Bagus yang ada di Jakarta, anggota lainnya sedang pulang ke daerah. Pelobi itu adalah juga tokoh Islam teman dekat Ki Bagus Hadikusumo, yakni Kasman Singodimedjo. Pendek kata Ki Bagus luluh hatinya meski kemudian meminta agar rumusan Pancasila memakai kalimat seperti yang ada sekarang, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Di situlah bukti tak terbantahkan dari kelapangan atau toleransi dari para tokoh Islam kepada kelompok lain demi mencapai Indonesia merdeka ini,'' kata Lukman Hakiem.


Ketika ditanya mengenai sikap Pancasila dan idelogi dari sebuah percakapan di laman media sosial, Lukman menulis begini dengan mengutip pidato Presiden Sukarno di depan Gerakan Pendukung Panca Sila (GPPS), 17 Juni 1954. Isinya begini:

"Jangan Panca Sila diaku oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Panca Sila adalah asasku. Oleh karena itu aku ulangi lagi. Panca Sila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara.... Negara adalah 'wadah'. Dari territoir (wilayah, red) Sabang sampai Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah itu adalah masyarakat. Dan kalau Saudara-saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat...."





Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement