Ahad 14 Jun 2020 23:11 WIB

Sekularisme Gagal di Negara Islam Versi Yusuf Al-Qaradhawi

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi mencermati kegagalan sekularisme di Tunisia dan Turki.

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi mencermati kegagalan sekularisme di Tunisia dan Turki. Bendera Turki di jembatan Martir, Turki
Foto: AP
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi mencermati kegagalan sekularisme di Tunisia dan Turki. Bendera Turki di jembatan Martir, Turki

REPUBLIKA.CO.ID, ''Negeri Tunisia yang hijau menyenangkan menjadi hitam mengerikan karena sekularisme ekstrem,'' demikian prolog yang dipilih Yusuf al-Qaradhawi ketika membedah fenomena sekular yang berkecambah di negeri al-Jumhuriyah at-Tunisiyah (Republik Tunisia), sebuah negara yang berbahasa resmi Arab dan secara konsitusional agama resminya adalah Islam.

Dan Tunisia merupakan satu dari dua kasus ''sekularisme esktrim'' (at-Tatharruf al-'Ilmani), demikian istilah penulis, yang dieksplorasi dalam buku bertajuk ''Islam dan Sekularisme'' ini. Kasus lainnya adalah Turki dengan tokohnya yang kesohor, Kamal Attaturk. 

Baca Juga

Oleh penulis, kasus Turki diibaratkan dengan Abu Jahal dan Abu Labab yang terang-terangan kafir, sementara kasus Tunisia disamakan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul yang kekafirannya dibungkus dengan kemunafikannya.

Hanya beda dengan reportase al-Qaradhawi tentang merebaknya sekularisme di Turki yang tidak banyak mengundang komentar, ketika ulama besar Qatar ini membongkar sekularisme di Tunisia banyak orang dibuat terperangah dan beramai-ramai mengemukakan kritiknya terhadap pemakalah.

Dalam seminar yang diselenggarakan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada Oktober 1998 di Bahrain itu, Syekh Muhammad Mukhtar as-Sallami, ketika itu mufti Tunisia yang sekaligus menjadi wakil negeri itu dalam komisi fiqih, adalah orang pertama yang membeberkan bantahannya, seraya berpesan kepada segenap ulama agar hati-hati dalam membicarakan hal itu.

Beberapa orang Tunisia juga datang menemui panitia dan meminta agar makalah pemikir yang hafal Alquran sejak usia sepuluh tahun itu tidak dimasukkan dalam draf akhir seminar. Bahkan mereka juga menghadap dan meminta Menteri Agama Bahrain Syaikh Abdullah bin Khalid al-Khalifah agar mendukung tuntutan mereka.

Namun di antara desingan kritik yang mereka lontarkan itu ternyata tak seorang pun dapat memungkiri berbagai fakta yang disodorkan Yusuf al-Qaradhawi dalam ceramahnya. Bahkan seorang ulama Muritania, Syekh Abdullah bin Bayyah, berkomentar: ''Tuan-tuan lebih baik diam jika tidak pandai bicara. Ceramah itu adalah ekspresi nurani umat dewasa ini dan lidah yang mengungkap apa yang terjadi padanya.'' 

Akhirnya artikulasi dan lontaran penulis tentang sekularisme di Tunisia itu pun menjadi wacana ilmiah di kalangan intelektual dan kaum terpelajar di negeri yang berkilau dengan Jami'ah Zaitunah-nya, sebuah universitas yang selama berabad-abad mengeluarkan para imam dan ulama besar.

Belajar dari dua kasus tersebut, dai, pemikir, mujahid, dan penulis produktif yang lahir pada 1926 dan waktu-waktunya dicurahkan sepenuhnya untuk amal Islam itu, yakin bahwa sekularisme tidak akan berhasil di negara Islam. Mengapa demikian? Ia bertentangan dengan karakter Islam yang dianut bangsa-bangsa Muslim, juga melawan arus sejarah dan perilaku mereka. 

photo
Sudut kota Tunis, Tunisia. - (www.worldatlas.com)

Di pelbagai negeri Barat, yang notabene adalah orang-orang Kristen, sekularisme boleh saja hidup. Namun di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, sekularisme tidak akan pernah bisa tegak dan ajeg. Meski sekularisme itu ditopang dengan kekuasaan, namun umat tidak akan menerima makhluk aneh ini dan tetap akan memerangi setiap gerakan yang mengarah pada upaya sekularisasi kehidupan mereka. Kelihatannya memang aman-aman saja, namun ia mirip magma di dalam gunung yang suatu saat pasti akan meledak.

Ditinjau dari banyak hal, sekularisme sebagai produk impor tidak laku dipasarkan di negara-negara Islam. Etika mengajarkan bahwa orang yang kaya tidak boleh meminta, karena akan merendahkan dirinya dan menurunkan martabatnya. Demikian pula dengan sekularisme. ''Maka kita tidak boleh mengambil atau meminta undang-undang dari luar bumi kita. Karena kita adalah orang-orang yang kaya dengan akidah, syari'ah, sejarah, peradaban, dan undang-undang (hlm. 175).'' 

Demikian ilustrasi kegagalan sekularisme yang diberikan oleh tokoh yang ditinggal mati sang ayah ketika berumur dua tahun ini. Sebuah paparan yang sangat realistis, obyektif, rasional, argumentatif, dan sangat mudah dipahami. Dan kekhasan inilah yang selalu membingkai buku-buku al-Qaradhawi, yang ditambah lagi dengan cirinya yang komprehensif dan ditopang dengan dalil-dalil syar'i yang akurat.

Bahkan termasuk buku sastranya pun relatif mudah dipahami, semisal buku ontologi puisinya Nafahaat wa Lafahaat. Karena itu, bila ada buku al-Qaradhawi yang dibaca dengan kening berkerut, mungkin penerjemahnyalah yang memolesnya menjadi lain.

Masih tentang sekularisme yang tidak akan memperoleh tempat di negara-negara Islam, al-Qaradhawi juga mengilustrasikannya dengan pendekatan ilmu ekonomi. Menurutnya, ilmu ekonomi menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh membeli dengan kredit jika ia memiliki dana yang cukup. Maka suatu negara juga tidak boleh mendatangkan barang dari luar selama kekayaannya masih melimpah. Bukankah limpahan karunia rohani dan pemikiran yang dimiliki Islam dan umatnya juga merupakan kekayaan, sebagaimana kekayaan berupa harta dan materi?

Bila nasib sekularisme moderat saja demikian, apa lagi dengan keadaan sekularisme ekstrem, yang peristiwa tragisnya sudah dialami oleh negeri Turki dan Tunisia, sebagaimana yang dikupas secara luas dan lengkap dalam buku ini. Seperti Nabi yang melarang perbuatan melampaui batas, nampaknya perilaku ekstrem atau berlebihan juga merupakan suatu sikap yang tidak digemari al-Qaradhawi. Bukan hanya terhadap sekularisme, tapi juga menyangkut sikap keberislaman seseorang, sebagaimana yang dia tunjukan dalam kitabnya as-Shahwah al-Islamiyah Bainal Juhud wat-Tatharruf. 

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement