Kamis 11 Jun 2020 04:31 WIB
Komunis

Skisma Islam di Jawa: Pertarungan Islam-Komunis 1950-an

Jejak pertarungan santri dan komunis pasca pemberontakan di Madiun

Suasana penangkapan para pelaku pemberontakan PKI 1948.
Foto:

Selanjutnya MC Ricklefs menulis, ‘permusuhan ini tentu saja berbalas, di mana beberapa kalangan santri menganggap lawan politik mereka itu sebagai kafir dan sekelomok guru agama di Jawa barat bahkan menyatakan bahwa anggota PKI tidak boleh dimakamkan sebagai Muslim.

Dalam menggeleorkan kebencian santri-abangan, kampanye pemilihan umum yang berlangsung pada pertengahan dasawarsa 1950-an hanya kalah dari peristiwa Madiun tahun 1948. Tepat pada waktu inilah Clifford Geertz, Robert Jay dan para kolega mereka melaksanakan penelitian lapangan mereka di ‘Mojokuto’ nama samaran untuk Pare (dekat Kediri).  Publikasi hasil penelitian mereka memberi kita wawasan yang luar biasa mengenai keadaan Jawa Timur pada 1953-1954, ketika mereka mengamati menguatnya kesadara identitas dan permusuhan santri abangan.

PENCULIKAN KYAI DAN SANTRI TAHUN 48 DI TAKERAN MAGETAN - LAYAR TANCAP

  • Keterangan foto: Keluarga pesantren Takeran yang menjadi saksi bisu penculikan dan pembantaian para kaum santri dan kiai pada pemberontakan PKI 1948.

Robert Jay misalnya mencatat, sebuah perpecahan religus (skisma) yang membelag masyarakat setempat dan betapa cepatnya perkembangan skisme tersebut dalam kurun waktu beberapa bulan ketika dia menjalankan penelitian lapangannya. Jay menyatakan betapa masing-masing pihak mencoba membersihkan dirinya sendiri dengan gaya serta ritual yang mencirikan pihak lain. Sementara kaum perempuan santri biasanya, meski tidak selalu, mengenakan kerudung dan kaum perempuan abangan biasanya, meski tidak selalu tidak mengenakannya, semakin lama kerudung menjadi sebuah simbol yang esensial dari identitas santri, senantiasi dikenakan oleh perempuan santri dan tidak pernah perempuan abangan.

Cerita-cerita mengenai peristiwa Madiun semakin menegaskan batas-batas tersebut, sebab komunitas santri melihat kebangkitan PKI dan cemas bahwa mereka akan menjadi sasaran kekerasan kaum Komunis. Seiring semakin dekatnya pemilihan umum 1955,pertimbangan paling penting yang yang dimiliki para pemilik suara ketika akan memberikan suara mereka adalah bilakah seorang kandidat tertentu adalah santri atau abangan.

Kaum santri di wilayah yang diteliti Jay menentang penghormatan kepada pendiri desa dan roh-roh penjaga yang diberikan oleh kalangan abangan, dan melahirkan berbagai kultus semacam ini dikurangi atau ditiadakan di desa-desa santri. Batas tersebut sedemikian menguat sehingga mendekati akhir penelitian lapangan mereka, bahkan Jay dan isterinya kesulitan untuk berpindah dari satu komunitas ke komunitas yang lain karena dicurigai sebagai orang yang bersimpati kepada pihak lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement