REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Informasi pahala memberi makan berserak dalam literatur Islam yang sangat banyak. Misalnya, di dalam al-Jami’ al-Shagir, Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengutip satu hadits Nabi SAW tentang orang yang akan mendapatkan perlindungan di bawah Arasy Allah SWT. Dia adalah orang yang memberi makan orang yang lapar.
Tak hanya berpahala, memberi makan bahkan dipuji oleh Nabi SAW, “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang memberi makan.” (HR. Thabrani). Seorang laki-lai bertanya kepada Nabi SAW, “Perbuatan apa yang terbaik di dalam Islam?” Nabi SAW menjawab, “Kamu memberi makan kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Nawawi Banten menceritakan ulang di dalam karyanya Nashaihul Ibad tentang rahasia Nabi Ibrahim hingga menjadi khalilulllah (kekasih Allah). Nabi Ibrahim mengaku tidak makan sore dan makan pagi kecuali bersama tamu. Bahkan Nabi Ibrahim menempuh perjalanan sejauh 1 mil atau 2 mil sekadar mencari orang untuk menemaninya makan.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat sejumlah kamar yang bagian luarnya terlihat dari bagian dalamnya dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya. Lalu seorang Arab Badui berdiri lalu bertanya, “Ya Rasulullah untuk siapa kamar-kamar itu?” Nabi SAW menjawab, “…untuk orang yang memberi makan …” (HR. Turmudzi).
Tak hanya beroleh kamar khusus, orang yang memberi makan juga akan masuk surga dari pintu khusus. Nabi SAW informasikan, “Barangsiapa yang memberi makan kepada seorang mukmin hingga membuatnya kenyang dari rasa lapar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam salah satu pintu surga yang tidak dimasuki oleh orang lain.” (HR. Thabrani).
Memberi makan tidak harus menunggu menjadi kaya dan berlebihan makanan. Sebab memberi makan dalam keadaan sempit pahalanya sangat besar di hadapan Allah SWT. Bahkan dapat melindungi pelakunya dari siksa neraka. Nabi SAW bersabda, “Api neraka merasa takut walaupun dengan sebiji kurma (yang kalian berikan untuk orang yang lapar).” (HR. Bukhari)
Di dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang memberi makan akan dapat menempuh jalan mendaki dan sukar (aqabah). Allah SWT bertanya, “Dan tahukah kamu apakah kiranya jalan yang mendaki dan sukar itu?” (QS. al-Balad/90: 12). Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Allah SWT, “…Memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. al-Balad/90: 14).
Di dalam Alquran juga disebutkan bahwa orang yang tidak mau memberi makan adalah sebagai pendusta agama. Allah SWT bertanya, “Tahukah kamu siapa orang yang mendustakan agama?” (QS. al-Ma’un/107: 1) Menurut Allah SWT dialah, “(Orang yang) tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. al-Ma’un/107: 3).
Filosofi kesediaan memberi makan dapat dipahami dari hadits Qudsi berikut ini, “Pada hari ini Aku menahan karunia-Ku darimu sebagaimana kamu telah menahan kelebihan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan hasil usahamu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sejatinya manusia diberi makan oleh Allah SWT. Manusia tidak bisa menciptakan makanannya sendiri.
Di dalam hadits Qudsi disebutkan orang yang memberi makan akan bertemu Allah SAW di sisi orang yang lapar. “Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi kamu tidak mau memberikan makan kepada-Ku”. Orang itu bertanya, “Wahai Tuhan, bagaimana caranya aku memberi makan kepada-Mu, sedang Engkau Tuhan penguasa alam semesta?”
Allah menjawab, “Ketahuilah, apakah kamu tidak peduli terhadap seorang hamba-Ku, yakni si fulan. Ia telah datang meminta makan kepadamu, namun kamu tidak memberinya makan. Ketahuilah, sekiranya kamu mau memberinya makan, maka kamu akan mendapati-Ku di sisinya.” (HR. Muslim). Pertanyaannya, sudahkah kita membuat kenyang orang yang lapar hari ini?