REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Seperti dikutip Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, Nabi SAW bersabda, “Diamnya seorang ulama adalah aib, dan bicaranya adalah hiasan. Sedangkan bicaranya orang bodoh adalah aib, dan diamnya adalah hiasan.” Dengan kata lain, diam tidak selalu jadi hiasan, dan bicara tidak selalu jadi aib. Tergantung siapa yang diam dan bicara.
Syekh Nawawi Banten menulis dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits bahwa manusia itu sering kali diam dan sering kali juga bicara. Ketika berbicara, ada kalanya mengenai persoalan yang baik, maka ia beruntung. Namun, manakala ia berbicara tentang masalah yang buruk, maka manusia merugi. Jadi berbicara mengenai masalah yang baik beroleh pahala.
Namun, lanjut Syekh Nawawi Banten, apabila manusia diam, ada kalanya ia diam dalam seuatu perkara yang buruk, maka ia beruntung (mendapat pahala). Namun, kalau diam dari persoalan yang baik yang wajib diutarakan, maka sesungguhnya ia telah merugi (mendapat dosa). Maka bagi manusia dalam diam dan bicara, mestinya mendapat pahala.
Nabi SAW bersabda, “Perlindungan diri itu ada sepuluh bagian, yang sembilan terdapat dalam diam.” (HR Dailami). Menurut Syekh Nawawi Banten, diam yang dapat menjadi perlindungan diri (dari bahaya) adalah diam dari segala perkara yang tidak berpahala. Atau bahkan lebih jauh dapat menimbulkan angkara murka di dunia dan di akhirat.
Seperti dikutip oleh Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Siraj al-Munir, Syekh al-Manawi berkata bahwa sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk memilih perlindungan diri (dengan cara diam). Bagi yang tidak mampu atau terpaksa karena berada di suatu komunitas atau dalam rangka mencari rezeki, maka tetap orang itu harus memilih banyak diam.
Allah SWT berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS al-Nisaa/4: 114).
Berdasar ayat ini, bagi kaum Muslim, diam dan bicara dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata. Namun, menurut Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, apabila semua itu dilakukan karena riya, harga diri, dan demi gengsi, maka diam dan bicaranya itu menjadi bencana besar yang akan merugikan dirinya (di dunia dan di akhirat).
Karena pentingnya persoalan ini, terutama bagi manusia modern di era media sosial yang serba terkoneksi, Nabi SAW bersabda seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Seluruh perkataan manusia berbahaya dan tidak bermanfaat baginya, kecuali perkataan yang mengandung amar ma’ruf nahi munkar atau berzikir dengan menyebut nama Allah.”
Secara presentase, banyak bicara itu lebih besar kelirunya. Nabi SAW mewanti-wanti, “Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak kelirunya. Barangsiapa yang banyak kelirunya, maka banyak dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR Thabrani). Untuk itu, mari bicara dengan ilmu dan argumentasi yang tak terbantah.
Namun, untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan keliru saat bicara, misalnya, saat ditanya mengenai persoalan yang memang orang itu tidak tahu ilmunya, hendaklah dijawab dengan tiga kata, “Aku tidak tahu.” Umar bin Khattab berkata, seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Diam itu merupakan anak kunci (bagi) mulut.”
Kesimpulannya, diam hanyalah pada perkara maksiat dan berbicara pada perkara taat. Jadi, kalau bicara dalam perkara taat kepada Allah SWT adalah emas, maka diam dari maksiat kepada Allah SWT adalah mutiara. Semoga diam dan bicara kita yang naik ke langit hingga menembus tujuh petalanya bernilai pahala, indah seperti emas dan mutiara.