Ketika roda pesawat menyentuh tanah setelah 5 jam terbang dari Paris, ketegangan belum juga berkurang. Dari jendela pesawat kelihatan ratusan orang tentara menuggu, lengkap dengan mitraliur. Tiba-tiba pesawat membelok. Mau berangkat lagi? Ternyata tidak. Beberapa menit kemudian ia berhenti benar-benar, jauh dari tempat berlabuh yang seharusnya. Ternyata hal ini pilot lakukan agar jangan sampai orang-orang yang berniat jahat melakukan rencananya berkat keterangan yang diperolehnya terlebih dahulu tentang tempat pesawat akan berhenti.
Di kantor lapangan terbang, di ruang tunggu, puluhan ribu orang terlihait melambai-lambaikan tangan kepada kami. Para wartawan turun sebelum Khomeini.
Di bawah tangga sudah ada puluhan wartawan lainnya yang selalu siap siaga di Teheran. Segera kami mengeluarkan alat-alat foto, buku catatan, dan juga alat perekam untuk mencatat turunnya Khomeini di tanah Iran yang sudah ditinggalkannya selama 15 tahun.
Mula-mula turun Dr Ibrahim Yazdi, Bani Sadr, dan Sodeq Gotbzadeh. Tiga pembantu utamanya. Mereka kelihatan gugup. Sementara itu, kami tetap menunggu. Tiba-tiba seorang yang mirip Khomeini turun. Para wartawan mulai beraksi dengan cekatan. Ternyata bukan Khomeini.
Beberapa saat kemudian, Khomeini yang sesungguhnya turun dengan anggun seperti seorang pemenang meskipun tidak kelihatan angkuh sedikit pun. Ia digandeng oleh pilot pesawat dan anak laki-lakinya.
Para wartawan mulai beraksi dengan cekatan, begitu juga para juru kamera televisi dan film. Polisi cepat membuat pagar terhadap para wartawan yang mencoba sedekat mungkin dengan Khomeini untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun, pagar polisi terlalu hebat. Khomeini segera naik sebuah Mercedes 200 berwarna biru laut dan diantarkan ke luar dari kantor lapangan udara. Mobil tersebut bukan kepunyaan Pemerintah Iran. Tidak seorang pun wakil pemerintah kelihatan menjemput Khomeini.
Di ruang tunggu lapangan terbang ratusan wakil suku bangsa dan agama yang berbeda: Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, dan juga wakil-wakil dari partai politik lamanya yang bersimpati--atau yang cuma ikut arus--ikut menyambut. Mereka mengelu-elukannya. Khomeini mengucapkan pidato terima kasih kepada semua orang yang ikut berpartisipasi dalam perjuangan Iran.
Suasana yang betul-tetul meriah, hangat, dan penuh emosi ini tak dapat dikontrol sehingga timbul kesulitan bukan saja bagi wartawan melainkan juga untuk petugas-petugas keamanan. Terjadi banyak pertengkaran: banyak yang mencoba masuk dengan jalan memaksa berkelahi atau memanjat pagar.
Khomeini pulang betul-betul. Sukar dipercaya dengan mata kepala. Alangkah beraninya orang tua ini. Wibawa Khomeini yang besar sekali itu mulai terasa pengaruhnya. Sebagian besar wartawan, termasuk saya, misalkan, tidak mempunyai visa ke Iran karena Kedutaan Besar Iran di Paris ditutup, tetapi tiba-tiba kami mendapat visa dari petugas imigrasi Iran.
Contoh lain, sejak beberapa lama pegawai telepon dan teleks mogok sehingga menyukarkan para wartawan untuk mengirimkan berita-berita hangat. Namun, khusus untuk kedatangan Khomeini disediakan 10 pesawat teleks dan belasan pesawat telepon internasional.
Enak bagi orang Eropa, Jepang, atau Amerika Serikat sebab teleponnya otomatis. Bagi saya dari Indonesia hal itu merupakan siksaan besar: harus tunggu dua jam sebelum berita yang sudah saya siapkan dapat tiba di Indonesia. Padahal, saya berharap agar peristiwa besar ini dapat dimuat hari itu juga.
Sepanjang perjalanan dari lapangan terbang ke kuburan para pahlawan di Behect Zahra, berjuta-juta orang menunggu dan mengelu-elukan Khomeini. Mereka datang dari seluruh Iran. Mobil yang ditumpangi Khomeini dijaga keras oleh orang-orang semacam barisan berani mati. Mereka siap memberikan jiwa mereka seandainya ada usaha pembunuhan terhadap orang tua ini.
Orang-orang menjadi histeris. Mereka mencoba menyentuh Khomeini. Karena mereka tidak tahu Khomeini naik mobil yang mana akibatnya fatal sekali bagi wartawan. Wartawan terpaksa keluar dari rnobilnya yang tidak mungkin lagi berjalan dan kehilangan jajak Khomeini. Di kuburan Behect Zahra, Khomeini ditunggu untuk berziarah dan mengucapkan pidato selamat jumpa kembali pada negeri yang telah lama ditinggalkannya.
----------
* Tulisan ini dikutip dari buku DR Nasir Tamara: Revolusi Iran. Nasir Tamara kini banyak bermukim di Kota Gede, Yogyakarta, dengan tinggal di sebuah rumah antik peninggalan saudagar Kota Gedhe. Kegiatan keseharian lainnya adalah dosen di Pascasarjana UGM.