Senin 25 May 2020 18:09 WIB
Islam

Islam dan Sistem Sosial Kolonial Hindia Belanda

Eksistensi pesantren dan semnagat pengucilan dari sistem kolonial

Sntri Jawa mengaji di serambi masjid pada zaman dahulu.
Foto:

Maka sekalipun sebagai tradisi yang berakar lama dalam budaya Islam Indonesia pesantren telah ada sejak beberapa abad sebelumnya (dan dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi mapan serupa di negeri- negeri Islam dari kalangan kaum Sufi seperti zâwiyah dan ribâth di India dan Timur Tengah), namun suatu kenyataan yang sangat menarik ialah bahwa sistem pendidikan tradisional Islam itu berkembang pesat pada peralihan abad yang lalu. Pesantren-pesantren besar di komplek Jombang-Kediri seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Denanyar,  Jampes, Lirboyo dan lain-lain, misalnya (yang kelak pengaruhnya begitu besar pada kehidupan nasional, antara lain melalui organisasi Nahdlatul UlamaNahdlat al-„Ulamâ‟), tumbuh dan berkembang kurang lebih sebagai saingan sekolah-sekolah formal kolonial.

Dalam lembaga-lembaga pendidikan itu terasa sekali semangat pengucilan diri dari sistem kolonial pada umumnya. Secara simbolik semangat itu dicerminkan dalam sikap para „ulamâ‟ yang mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak dari yang cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan modern (dan huruf Latin) sampai hal-hal sederhana seperti celana dan dasi. Ajakan pemerintah kolonial kepada mereka untuk ikut serta dalam ―peradaban modern‖ disambut dengan sikap berdasarkan sebuah Hadîts, ―Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu‖ (Man tasyabbah-a bi qawm-in fa-huwa min-hum). Maka meniru ―kaum Belanda dengan, misalnya, memakai celana, membuat yang bersangkutan termasuk ―kaum‖ Belanda yang ―kafir‖ itu.

Sudah tentu dalam menilai lebih adil sikap para „ulamâ‟ tersebut kita tidak boleh melupakan aspirasi mereka yang sangat nasionalistik dan patriotik. Sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu, kedatangan Islam di Nusantara hampir bersamaan dengan, atau segera disusul oleh, kedatangan kaum kolonialis Eropa. Maka kembali sedikit kepada masa kedatangan kaum kolonialis itu, penting sekali kita ketahui bahwa salah satu faktor pendorong mereka untuk sampai ke kawasan ini (yang secara tidak sengaja juga berakibat ditemukannya Amerika) ialah untuk membebaskan diri dari ketergantungan ekonomi mereka kepada Dunia Islam yang saat itu menguasai ekonomi dan perdagangan dunia. Mereka ingin berhubungan langsung dengan Cina (latar belakang perjalanan Marcopolo yang terkenal) dan dengan daerah penghasil rempah-rempah (Maluku).

Karena motivasi dan latar belakang itu maka perasaan anti Islam juga terbawa ke mana-mana. Orang-orang Spanyol, misalnya, karena permusuhan sengit mereka dengan kaum Muslim di Spanyol dan Afrika Utara (al-Maghrib) yang mereka sebut kaum ―Moro‖, mereka juga menyebut kaum Muslim di kawasan ini, khususnya di Mindanao, sebagai kaum ―Moro‖. Orang Spanyol (dan Portugis), sama dengan sikap mereka di Semenanjung Iberia, bermak-sud membinasakan ―orang-orang Moro‖ itu atau mengkristenkan mereka secara paksa. Banyak daerah di kawasan Asia Tenggara yang sistem sosial-budayanya merupakan sisa dari rasa permusuhan orang-orang Iberia kepada Islam tersebut.

Karena itu sebagaimana dikemukakan Islam berfungsi sebagai keleng-kapan ideologis yang amat kuat untuk melawan penjajah Barat.

Kaum Santri, para kiai, dan dunia pesantren berfungsi sebagai ―reservoir‖ terpenting kesadaran kebangsaan dan patriotisme. Mereka merupakan tonggak-tonggak fondasi rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang tak tergoyahkan, yang di atas fondasi itu kelak ditegakkan nasionalisme dan patriotisme Indonesia modern. Maka tidaklah aneh samasekali bahwa gerakan nasionalisme modern di Indonesia dengan penampilan kerakyatan (populis) yang tegas dimulai oleh kalangan Santri, dengan pembentukan Syarikat Islam. Juga suatu hal yang sangat wajar bahwa cita-cita kemerdekaan nasional mula-mula muncul dari kalangan Islam, melalui Syarikat Islam.

Dalam bandingannya dengan SDI atau SI maka Budi Utomo sekalipun juga cukup banyak jasanya adalah terlalu elitis dan hanya mencakup sejumlah kecil masyarakat, sebagai perkumpulan kaum priyayi Jawa yang menyertai budaya Barat (ikut dan memperoleh pendidikan Belanda). Karena itu, dalam pandangan kaum Santri dan para kiai, Budi Utomo nampak kompromistis dan akomodasionis kepada sistem sosial- budaya kaum kolonial, dan ini, di mata mereka, merupakan segi kekurangan dalam legitimasi kepemimpinan mereka untuk rakyat banyak. Kalau pun akhirnya, pada saat-saat perjuangan untuk kemerdekaan yang menentukan peranan ialah kaum nasionalis ―sekuler‖ seperti Bung Karno sendiri yang anak didik Tjokroaminoto, langsung ataupun tidak langsung mendapatkan ilham semangat nasionalismenya dari gerakan Islam.

Dan Bung Hatta, sebagai orang kedua terpenting setelah Bung Karno, adalah tokoh yang tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang kuat, dengan ayahandanya yang seorang pemimpin suatu perkumpulan tarekat di daerahnya, di Sumatera Barat.

Jadi, tegasnya dan singkatnya, umat Islam berhasil menjalankan fungsinya sebagai pangkal tolak dan pengembang kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan perlawanan kepada penjajahan. Peristiwa pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya dapat dipandang sebagai puncak perlawanan fisik melawan kaum penjajah, sehingga dijadikan Hari Pahlawan. Harus kita ingat bahwa peristiwa itu sepenuh-penuhnya melibatkan kaum Santri, bertitik tolak dari fatwa Hadlrat al- Syaykh Muhammad Hasyim Asy‘ari dari Tebuireng yang menyatakan bahwa membela Republik adalah perang di jalan Allah, dan bahwa gugur dalam pembelaan itu adalah mati syahid. Maka sudah sewajarnya bahwa beliau diangkat sebagai pahlawan nasional. Dan Bung Tomo, seorang pahlawan nasional lainnya yang namanya terkait erat dengan peristiwa heroik di Surabaya itu, menggunakan lafal takbir (Allâh-u Akbar) sebagai battle cry, karena lafal suci itulah yang dapat dipahami dan mampu menggugah semangat para prajurit Santri yang bertempur.

Penulisan kembali sejarah Indonesia secara jujur harus memuat penu-turan dengan penuh penghargaan kepada kaum Santri di bawah pimpinan para Kirai itu. Namun ternyata sikap para „ulamâ‟ yang heorik dan patriotik itu harus dibayar mahal. Tekanan perhatian yang tak terelakkan dari perjuangan melawan kaum penjajah telah membuat Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, jauh lebih efektif sebagai senjata ideologis-politis daripada sebagai sistem ajaran yang lengkap dan serba meliputi.

Maka jika dibandingkan dengan keadaan Islam di India ke barat, Islam di Indonesia kurang mendalam dari segi pemahaman ajaran dan pengembangan intelektualnya. Beberapa bentuk kegiatan intelektual yang cukup kreatif di Aceh (daerah yang sejak dari masa dini Islam paling mapan keislamannya) harus terhenti bahkan terhapus karena pertikaian politik domestik (yang menjadi bagian dari gejala kemunduran Islam seluruh dunia), dan disebabkan oleh perjuangan hidup mati melawan kaum penjajah.

Karena itu, dilihat dari situasi historis-politisnya yang sulit, keberhasilan penyebaran Islam di Asia Tenggara adalah suatu mukjizat. Sempurnanya penyebaran Islam di Jawa dalam waktu yang amat singkat, misalnya, menjadi tumpuan kekaguman dan tanda tanya besar bagi Marshall Hodgson, seorang ahli keislaman terkenal dari Universitas Chicago.

Dalam kritiknya yang amat mendasar atas penilaian Clifford Geertz yang mengatakan bahwa yang Islam di Jawa hanyalah golongan tertentu saja, yaitu kaum Santri, sedangkan yang lainnya, yaitu kaum Abangan dan Priyayi, kurang atau malah bukan Islam, Hodgson mengkritik bahwa Geertz mengatakan demikian itu karena tidak paham agama Islam, dan metodologi antropologisnya cenderung melupakan faktor sejarah yang amat penting.

Bagi yang paham tentang Islam, kata Hodgson, deretan pertanyaan besar, mengapa Islamisasi Jawa begitu sempur-na, dan mengapa sisa Hinduisme dan Budhisme di Jawa sedemikian sedikit-nya (Lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid, Chicago: The University of Chicago Press, 1974, jil. 2, h. 551, catatan kaki).

Biarpun telah tersebar luas dan cukup mapan dengan cepat, namun dari segi pengisian dan substansinya, Islam di Asia Tenggara adalah masih dalam proses perkembangannya. Karena itu India dan Indonesia, misalnya, sebagai perbandingan, adalah dua negeri dengan kontras yang amat menarik. India berpenduduk mayoritas hindu, tapi kebesarannya di masa lalu yang menjadi kenangan romantik dan nostalgiknya adalah masa kebesaran kerajaan-kerajaan Islam. Ini dicerminkan dalam fakta bahwa bangunan-bangunan mo-numental Islam, seperti Taj Mahal dan Fateh Puri, merupakan kebanggaan India dan menjadi atraksi utama industri turismenya.

Sebaliknya Indonesia: mayoritas penduduknya Muslim, namun masa lalu yang dikenangnya dengan romantisme dan nostalgia (meskipun umumnya terbatas hanya kepada retorika belaka) ialah masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Ini dicerminkan dalam fakta, sebagaimana telah disinggung, bahwa monumen-monumen Hindu- Budha, seperti Borobudur dan Prambanan, menjadi kebanggaan nasional dan merupakan atraksi utama industri turismenya. Mungkin tidak ada yang terlalu aneh tentang hal itu semua, mengingat adanya banyak negeri yang mempunyai hal serupa berkenaan dengan kejayaan masa silam mereka.

Tetapi perbandingan antara India dan Indonesia dalam kaitannya dengan agama Islam itu menunjukkan adanya suatu fakta yang menarik. Yaitu bahwa sementara Islam di Anak-Benua sempat menancapkan bekas-bekas pengaruh kulturalnya yang amat mendalam, di Indonesia pengembangan kultural itu masih merupakan masalah masa sekarang ini dan masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement