Senin 25 May 2020 14:02 WIB
Islam

Islam Doktrin dan Peradaban: Ketuhanan Dan Masalah Mitologi

Mengkaji karya Nurcholish Madjid: Islam Doktrin Peradaban

Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.
Foto:

Selanjutnya, karena dari semua benda langit itu matahari adalah yang paling mengesankan (sebagai apa yang disebut oleh Rudolph Otto dalam sosiologi agama memiliki unsur-unsur mysterium tremendum et fascinans yang paling utama), maka timbul pula kepercayaan yang hampir universal bahwa matahari merupakan dewa tertinggi atau utama, dengan bermacam-macam sebutan seperti Ra, Zeus, Indra, dan seterusnya.

Di kalangan bangsa-bangsa Semit juga terdapat praktik pemujaan matahari sebagai dewa Syamas atau Syams, sehingga ada seorang tokoh suku Quraysy di Makkah sebelum Islam yang bernama ̳Abd-u ̳-Syams (Hamba Dewa Matahari). Oleh karena itu, dalam bahasa Portugis dan Spanyol, hari pertama, yaitu ―Hari Matahari‖, disebut ―Hari Tuhan (Domingo, yang memberi kita nama ―Hari Minggu‖ yang sebenarnya redundant, karena ―minggu‖ sendiri sudah berarti ―hari). Semuanya itu dengan jelas menunjukkan adanya sisa-sisa praktik penyembahan matahari.

Jadi hari yang tujuh itu adalah suatu sisa dari praktik kekafiran, syirik atau paganisme. Tetapi mengapa kita sekarang menggunakannya tanpa halangan apapun? Apakah tidak berarti bahwa kita mendukung suatu paham yang jelas-jelas keliru dan menyesatkan? Padahal mendukung kesesatan berarti ikut menanggung ―dosa kesesatan itu sendiri!

Dari persoalan hari yang tujuh itu dapat diperoleh gambaran yang relevan sekali untuk persoalan kita sekarang ini. Penggunaan hari yang tujuh bekas kekafiran itu oleh bangsa-bangsa seluruh dunia, termasuk bangsa-bangsa Muslim, tidak lagi mengandung persoalan dan sepenuhnya dapat diterima atau dibenarkan, karena konsep hari yang tujuh itu telah terlebih dahulu mengalami proses demitologisasi.

Artinya, nilai-nilai mitologis pada konsep hari yang tujuh itu telah dibuang, dan diganti dengan nilai kepraktisan sebagai penunjuk waktu semata. Proses demitologisasi itu terjadi juga oleh bangsa-bangsa Barat, sekalipun nama- nama hari di sana masih dengan jelas menunjukkan sisa praktik pemujaan benda-benda langit. Di kalangan bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah, proses demitologisasi itu amat jelas dan tegas. Nama-nama hari yang tujuh itu tidak lagi dipertahankan pada nama-nama yang mengaitkannya dengan pemujaan suatu dewa bintang, tetapi diganti dengan angka, kecuali hari keenam dan ketujuh.

Museum of Islamic Culture | Sightseeing | Kazan

Maka kalau kita di Indonesia menamakan hari-hari itu Ahad, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jum ̳at dan Sabtu, hal itu terjadi karena kita meminjamnya dari Bahasa Arab melalui agama Islam. Dan nama-nama itu artinya sekadar Satu, Dua, Tiga, dan Lima; hari keenam disebut ―Jumat yang artinya berkumpul, karena pada hari itu umat Islam berkumpul di masjid untuk melakukan salat tengah hari bersama; dan nama hari ketujuh dalam bahasa kita terjadi melalui proses peminjaman dua kali: Bahasa Arab meminjamnya dari Bahasa Ibrani, ―Syabat, menjadi ―al-Sabt, dan dari Bahasa Arab kita meminjamnya menjadi ―Sabtu. Sebenarnya perkataan Ibrani ―syabat adalah cognate dengan perkataan Arab ―subat yang artinya ―istirahat total (seperti, misalnya, dimaksud dalam Kitab Suci bahwa Tuhan menjadikan tidur kita ―istirahat total‖ Lihat Q., s. Fâthir/35:47). (Karena bahasa- bahasa Arab dan Ibrani termasuk satu rumpun yang sangat dekatsama dengan dekatnya bahasa-bahasa Jawa dan Sundamaka nama-nama hari yang tujuh itu dalam dua bahasa tersebut, selain artinya persis sama, yaitu angka-angka, ucapan atau bunyinyapun hampir sama. Bandingkan nama- nama hari yang tujuh dalam dua bahasa itu: Yawm al-Ahad, Yawm al- Itsnayn, Yawm al-Tsulatsâ‟, Yawm al-Arbi„â‟, Yawm al-Khamîs, Yawm al- Jumu„ah, Yawm al-SabtArab; Yom Risyom, Yom Syeni, Yom Sylisyi, Yom Revii, Yom Hamisyi, Yom Syisyi, SyabatIbrani).

Hari ketujuh dinamakan Sabtu, karena menurut Genesis dalam Kitab Perjanjian Lama, pada hari itu Tuhan telah rampung menciptakan alam raya seisinya, kemudian ―istirahat total‖. Karena itu, manusia pun, sepanjang ajaran Perjanjian Lama, harus istirahat total pula, sebagaimana sekarang ini dipraktikkan oleh kaum Yahudi. Karena itu dalam konsep hari ―Sabat menurut agama Yahudi itu sebenarnya masih terkandung unsur mitologi. Kaum Yahudi fundamentalis benar-benar percaya bahwa pada hari itu Tuhan istirahat total, sehingga mereka pun istirahat total, sampai-sampai banyak dari mereka yang bahkan menghidupkan televisi pun tidak mau dan harus meminta orang lain yang bukan Yahudi untuk melakukannya!

Dari tradisi Arab, nama ―Sabtuuntuk hari ketujuh tetap bertahan dalam Islam. Namun, sesuai dengan penegasan dalam al-Qur‘ân (s. al- Nahl/16:124), nama itu tidak lagi mengandung nilai kesakralan dalam Islam. Apalagi jika diingat bahwa kata-kata Ibrani ―syabat‖ juga boleh jadi sekadar cognate kata-kata Arab ―sab„ah‖ atau ―sab„at-un‖, sebagaimana ia juga boleh juga sekadar cognate kata-kata Indo-Eropa ―sapta‖, ―sieben‖, ―seven‖, ―sept‖, dan seterusnya, yang semuanya berarti ―tujuh‖.

Agama Kristen, setelah melewati perjalanan pertumbuhan yang cukup panjang, meninggalkan konsep hari ―Sabat dan mengganti hari sucinya ke hari Ahad, hari pertama. Telah kita ketahui bahwa hari pertama ini adalah bekas ―Hari Matahari‖ (Inggris: Sunday). Juga telah kita bicarakan, bahwa karena matahari adalah benda langit yang paling hebat, maka tumbuh kultus kepadanya sebagai dewa utama, sehingga hari itu pun juga dinamakan ―Hari Tuhan atau ―Do-Mingo. Maka banyak kalangan sarjana Kristologi yang berpendapat bahwa pengalihan hari suci Kristen (yang tumbuh dari tradisi Yahudi) dari Sabtu ke Minggu masih mengandung unsur sisa kultus kepada matahari. Jadi proses demitologisasi oleh agama (monoteis) Yahudi dan (trinitarianis) Kristen terhadap konsep hari yang tujuh sebagai sisa kekafiran itu belum tuntas.

Yang menuntaskan proses demitologisasi hari yang tujuh itu ialah Islam, dengan menjadikan hari sucinya hari keenam dan dinamakan ―Hari Berkumpul‖ (Yawm al-Jumu„ah), yakni hari kaum Muslimin berkumpul di masjid untuk menunaikan sembahyang tengah hari dalam jamâ„ah. Cara penamaan hari itu sebagai sebagai ―Hari Berkumpul, berbeda dari cara penamaan ―Sabtu‖ dan ―Domingo‖, menunjukkan orientasi yang lebih praktis, fungsional dan bebas dari mitologi. Apalagi Islam pun tidak mangajarkan bahwa hari Jum ̳at adalah hari istirahat. Yang ada ialah ajaran bahwa pada saat adzan sembahyang Jum'at dikumandangkan, kaum Muslim hendaknya meninggalkan pekerjaan masing-masing dan bergegas menuju tempat sembahyang untuk bersama-sama mengingat Tuhan. Namun setelah selesai dengan sembahyang itu hendaknya mereka ―menyebar di bumi dan mencari kemurahan Tuhan, yakni kembali bekerja mencari nafkah (Lihat Q., s. al-Jumu ah/62:9-10).

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement