REPUBLIKA.CO.ID, SOLO – Kajian tarawih daring Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo pada Senin (18/5) malam menghadirkan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Haedar menyampaikan materi kajian bertema Keberagaman Dalam Perspektif Islam. Kajian daring dilakukan melalui aplikasi Zoom Meeting dan bisa diakses oleh masyarakat secara langsung dari akun Youtube milik UNS.
Dalam kesempatan tersebut, Haedar menjelaskan apa yang disampaikan pada kajian tersebut bukan saja tentang keberagaman tetapi juga mengenai keberagamaan (kehidupan beragama) dalam perspektif Islam. Masalah yang kini dihadapi oleh Indonesia bukan saja keberagaman yang dimaknai sebagai beragamnya konteks agama, budaya, sosial dan ekonomi. Tetapi ada dimensi keberagamaan yang melekat di dalamnya. Hal tersebut berpengaruh terhadap tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Dia memaparkan, ada dua kecenderungan sikap dan pandangan keberagamaan yang kini ada di masyarakat, khususnya umat Islam. Pandangan pertama mencoba mengaktualisasikan agama di dalam konteks situasi yang saat ini sedang darurat kemudian melahirkan pandangan agama sebagai solusi dalam menangani kasus Covid-19. Seperti beberapa organisasi Islam mencoba memberikan solusi dengan memperbolehkan untuk beribadah di rumah tetapi tetap memperhatikan rukunnya.
"Keberagamaan kita menjadi solusi bagi persoalan umat dan bangsa. Agama menjadi pemecah masalah, menjadi problem solver dalam konteks pelaku agama itu sendiri," terang Haedar seperti tertulis dalam siaran pers, Selasa (19/5).
Namun, pada waktu yang sama masih berkembang pandangan dengan kondisi saat ini aktivitas beribadah bisa dilaksanakan seperti biasa. Sebagian masyarkat tersebut belum adaptif dan bisa menerima cara keberagamaan yang lain. Padahal kondisinya jelas, masyarakat tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berkerumun. Hal tersebut memicu pro dan kontra di masyarakat.
Selanjutnya pemahaman keagaamaan yang bersifat moderat penting untuk mulai dikonstruksikan. Ketika terjadi situasi perbedaan pandangan yang cukup ekstrem masyarakat bisa mengatasinya. Misalnya, saat satu pandangan menilai syariat harus dijalankan sedangkan satunya menilai tidak perlu melakukan apapun dalam situasi yang sama-sama darurat. Maka, perlu mencari titik tengah yang sesuai dengan syariat dan bisa dijalankan umat beragama.
"Dalam kondisi tersebut yang terpenting untuk dimiliki adalah kematangan kita beragama dan kedewasaan kita dalam keberagaman," pesan Haedar.
Haedar menambahkan, saat ini nilai gotong royong telah luntur. Secara praktis gotong royong kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena masyarakat terbuai dengan julukan tersebut. Nilai gotong royong lebih sering dilihat sebagai sebuah teori tanpa adanya bukti. Keberagaman latar belakang tentu membutuhkan satu perekat yang bisa menjaga persatuan. Salah satunya nilai gotong royong ini bisa merekatkan hubungan sesama warga Indonesia. Maka, secara praktik gotong royong harus kembali digencarkan, terutama di masa sekarang saat Indonesia sedang menghadapi masalah. Tokoh masyarakat, publik figur, dan influencer bisa menjadi contoh untuk membangkitkan kembali nilai gotong royong.