Sabtu 25 Apr 2020 14:39 WIB
Mahzab

Polemik Anjing: Aceh Bermahzab Syafii dan Turki Yang Hanafi

Perlakuan anjing yang berbeda karena pemahaman mahzab fiqih.

Rangkain gerobak pemasok makanan untuk personil militer kolonial Belanda  yang akan dikirimkan dari  wilayah Indrapoeri ke bivak militer Belanda yang ada Glieng (Aceh) yang berada  di puncak bukit Peng Apih. TGerobak sengaja ditampakkan seperti  sebuah rumah kayu untuk mencegah serangan musuh. Foto dibuat pada  tahunl 1880.
Foto: google.com
Masyarakat Aceh berburu babi dengan membawa anjing.

Perlakuan Masyarakat Turki pada Anjing

Terlepas dari soal meningkatnya minat dan dukungan masyarakat pada dunia perpolitikan di Turki, Aceh barangkali juga perlu mencontohi pendekatan-pendekatan masyarakat dan kebijakan pemerintah Turki pada kesejahteraan hewan termasuk pada seekor anjing.

Anjing liar yang berkeliaran di area perkotaan Istanbul berjumlah 150.000 ekor dengan populasi 14 juta manusia. Anjing liar biasanya dengan mudah dapat diidentifikasi dengan salah satu kupingnya yang tertindik hijau atau warna-warna lainnya. Identifikasi ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah dari untuk menandai bahwa anjing-anjing tersebut telah mendapatkan hak vaksin bagi kesehatannya. Alokasi dana yang diperoleh oleh kementrian kesehatan setiap tahunnya berkisar puluhan juta lira.

Golongan cacat fisik bersama anjing penolongnya

Dalam tatanan beberapa kota di Istanbul, pemerintah dari kementrian tatanan kota menandai titik-titik penting yang dimaksudkan sebagai lokasi anjing-anjing liar ini mendapatkan makanannya. Ini dapat dengan mudah didapati di kawasan-kawasan kadikoy dan sekitarnya.

Selain itu petugas-petugas kebersihan juga begitu telaten menjaga taraf kesehatan udara kota yang jauh dari keasaman kotoran-kotoran yang dihasilkan anjing-anjing tersebut.

https://1.bp.blogspot.com/--7idUhSN5bI/W026v6KDfXI/AAAAAAAAAp0/vwYK8j5t3TwjUV68yR1Q0urvul_0_KR0QCLcBGAs/s1600/Kopekler%2B1900.jpg

Anjing-anjing ini juga dapat dengan bebas tanpa merasa terancam tidur dimana saja, termasuk dalam sebuah kawasan pemakaman ulama dan pekarangan masjid. Barangkali akan mencengangkan bagi pendatang Muslim didunia untuk melihat para anjing seakan bercengkerama dengan muslimah-muslimah berjilbab dan penghulu-penghulu pendzikir dengan ekornya yang melambai-lambai. Tidak jarang juga terlihat ramai yang memberikan makanan secara langsung dari telapak-telapan tangan.

Disini barangkali Anda menduga bahwa ini disebabkan oleh perbedaan anutan Mazhab dimana Mazhab Hanafi yang kebanyakan dianut oleh masyarakat muslim Turki ini tidak begitu ketat aturannya soal anjing. Dalam beberapa aspek barangkali Anda benar. Tapi pengaruh yang paling besar ada pada pandangan “menghargai manusia dan makhluk tuhan lainnya” yang bagaikan mengalir dalam darah diturunkan dari satu generasi ke generasi. Ya, sikap penyanyang masyarakat Turki dengan anjing-anjing ini telah tercatat begitu mendalam dalam sejarah-sejarah kebesaran Turki Usmani.

Namun disamping itu semua, hal yang paling penting dan berpengaruh terhadap keberlangsungan kesejahteraan hewan di Turki adalah pengesahan undang-undangan kesejahteraan hewan tahun 2004, tertuang dalam butir-butir hukum perlindungan hewan no 5199 yang dijalankan secara merata diseluruh wilayah Turki.

https://4.bp.blogspot.com/-4ZI5uqTFH64/W026yTtY1QI/AAAAAAAAAp4/fLuxxPQ1WDwvuXD82FxuxT-WprsKMydfACLcBGAs/s1600/dog%2B2.jpg

Menemukan realita persamaan ajaran Islam di Aceh pada zaman dahulu, saya mendukung ucapan  Ekrem Bugra Ekinci yang menuliskan bahwa fundamentalisme sikap menyayangi anjing ini terletak pada ucapan Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa seorang pelacur masuk surga karena memberikan air pada seekor anjing kehausan, sedangkan seorang perempuan taat disisi lain masuk neraka karena membiarkan seekor kucing kelaparan.

Dengan ini Ekinci kemudian melanjutkan pendapat akan kesaksiannya bahwa masyarakat Turki lebih takut pada hukuman ini jika menelantarkan hewan, bagi seekor anjing sekalipun. Oleh Karena itu, sambungnya, pada zaman dahulu adalah pemandangan biasa untuk melihat orang orang terlebih dahulu memberikan makanan hewan-hewan disekitaran rumahnya sebelum mereka sendiri duduk dan menyantap hidangannya. Begitu juga, terdapat hukuman bagi pengabai dan penjahat hewan yang selalu diikuti dengan pengasingan dari masyarakat.

Masih berdasarkan fakta sejarah yang dihadirkan Ikinci, “dalam daftar sertifikat Yayasan Haji Sayyid Mustafa di Rumelihisari tertulis: “Anjing-anjing jalanan harus diberi makanan dengan roti segar yang berharga 30 akce (koin perak) setiap hari”. “ Ini merupakan salah satu contoh kepedulian pemerintahan Muslim pada hewan. Pada dasarnya Turi Usmani membangun yayasan khusus, barak hewan, bahkan rumah sakit bagi perlindungan dan penyejahteraan kucing, burung-burung merpati, bangau, anjing dan banyak hewan-hewan lainnya.

Tahun 1909-1910 merupakan tahun kepedihan bagi anjing anjing yang telah terbiasa hidup diwilayah perkotaan. Dengan minat pemerintah demi memeluk industri modernisme sepenuhnya, anjing anjing ini diburu dan dikapalkan untuk pembuangan ke sebuah pulau tanpa penghuni. Mayoritas anjing-anjing ini tewas kelaparan. Dikatakan lolongan lapar terdengar hingga Istanbul. Sebagian bahkan dikatakan berenang sepanjang teluk Anatolia untuk bisa kembali ke Istanbul. Sebuah peristiwa sejarah yang masih dikenang hingga saat ini.

Tahun 2013, isolasi anjing-anjing ini terdengar kembali dari para pengambil kebijakan di parlemen Turki yang ditentang oleh hampir seluruh masyarakat Turki dengan dikomandoi oleh aktivis-aktivis perlindungan hak hewan. Kebijakan pengasingan anjing-anjing ini berhasil digagalkan.

Hingga saat inipun, edukasi terhadap perlindungan hewan ini terus didukung oleh pemerintah Turki. Ini untuk menekan angka-angka kekerasan terhadap hewan yang masih disaksikan diberbagai kawasan perkotaan dan pedalaman.

Intinya, realita saat ini di Aceh menjelaskan bahwa ada pertentangan antara nilai-nilai Islami yang diajarkan dalam masyrakat dengan praktek yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.  Debat debat lebih kondusif dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali kepekaan terhadap pentingnya dan tingginya amaran Islam untuk menjaga dan melindungi mahkluk-makhluk tuhan yang lain. Ini demi menyediakan ruang bagi tumbuhnya komunitas-komunitas Islami yang peduli tidak hanya pada sesama tetapi juga pada hewan. Dan terlebih penting lagi, jika tidak bisa berbuat banyak pada peningkatan hak-hak hewan, maka tidak ada hak pula bagi Anda untuk menghakimi atau merugikan mereka yang menunjukkan kasih sayangnya meskipun itu terhadap anjing sekalipun. Itu adalah batasan yang adil tidak hanya menurut hukum sipil sekulerisme dan demokrasi tapi juga hukum Islam.

---------

*Nia Deliana: Relawan Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT)

Refernsi

  • Cihangir Gundogdu, The state and the stray dogs in late Ottoman Istanbul: from unruly subjects to servile friends in Journal of Middle Eastern Studies, 15 February 2018.
  • -William , M. Mann et all, National Geographic Society-Smithsonian Institution Expedition to the Dutch East Indies, 1937.

    https://www.dailysabah.com/feature/2015/01/18/the-ottomans-exemplary-treatment-of-street-animals.

    https://www.dw.com/en/istanbuls-forgotten-dogs-struggle-for-survival/a-16997550.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement