Selasa 21 Apr 2020 05:53 WIB

Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini

Pelarangan menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa membuat Kartini galau.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ani Nursalikah
Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini. Tulisan tangan RA KArtini. Museum RA Kartini, merupakan rumah tinggal RA Kartini bersama suaminya Djojo Adiningrat yang merupakan Bupati Rembang, Jawa Tengah. Museum tempat RA KArtini menghabiskan sisa hidupnya ini menyimpan koleksi barang pribadi milik RA Kartini, seperti tempat tidur, bathup pribadi, tempat jamu, meja makan, mesin jahit, lesung, sermin rias, meja untuk merawat bayi, dan sejumlah buku serta foto dirinya beserta keluarga semasa hidup.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini. Tulisan tangan RA KArtini. Museum RA Kartini, merupakan rumah tinggal RA Kartini bersama suaminya Djojo Adiningrat yang merupakan Bupati Rembang, Jawa Tengah. Museum tempat RA KArtini menghabiskan sisa hidupnya ini menyimpan koleksi barang pribadi milik RA Kartini, seperti tempat tidur, bathup pribadi, tempat jamu, meja makan, mesin jahit, lesung, sermin rias, meja untuk merawat bayi, dan sejumlah buku serta foto dirinya beserta keluarga semasa hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak banyak literatur yang menceritakan pertemuan antara Raden Ajeng (RA) Kartini dengan sosok ulama besar KH Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani atau Kiai Sholeh Darat. Pertemuannya dengan ulama penyusun kitab tafsir Faid Al-Rahman tersebut mengubah pandangannya terhadap Islam, terutama setelah ia mengetahui tafsir Surat Al-Fatihah yang disampaikan Kiai Sholeh Darat.

Dalam suratnya kepada sahabat penanya bernama Stella Zihandelaar, bertanggal 6 November 1899., Kartini mencurahkan kegalauannya terhadap agama Islam yang dianutnya. Ia mengkritik para pemangku agama saat itu yang hanya mengajarkan membaca ayat-ayat Alquran tanpa menyampaikan artinya, termasuk guru mengajinya.

Baca Juga

"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang shaleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?” tulis RA Kartini pada Stella.

Sementara sebagai perempuan keluarga bupati, ada batasan sosial untuk mengaji lebih mendalam ke pesantren atau madrasah. Ditambah guru mengajinya juga tidak bisa memuaskan keingintahuannya terhadap agama Islam. Walhasil, kondisi ini menambah keputusasaanya dalam beragama. Bahkan ia berpikiran jika gurunya juga tidak tahu arti ayat-ayat Alquran yang diajarkan kepada dirinya.

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," tulis Kartini dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon, seorang pejabat urusan pendidikan Hindia Belanda.

Memang situasi di masa itu sangat sulit untuk belajar agama secara mendalam karena kebijakan yang ditetapkan penjajah. Salah satunya adalah melarang Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, seperti bahasa Jawa.

Akibatnya umat Islam di masa itu banyak yang tidak memahami agamanya dengan baik, termasuk RA Kartini. Mayoritas Alquran hanya sebatas dibaca tanpa diketahui makna atau setidaknya artinya.

Namun, perlahan tapi pasti, pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat menjadi momentum hijrahnya. Pertemuan itu terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kebetulan dalam kesempatan itu, Kiai Sholeh Darat menafsirkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa. RA Kartini pun terkesima, ia menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

sumber : Kartini Nyantri karya Amirul Ulum, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini karya TH Sumartana
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement