REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak banyak literatur yang menceritakan pertemuan antara Raden Ajeng (RA) Kartini dengan sosok ulama besar KH Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani atau Kiai Sholeh Darat. Pertemuannya dengan ulama penyusun kitab tafsir Faid Al-Rahman tersebut mengubah pandangannya terhadap Islam, terutama setelah ia mengetahui tafsir Surat Al-Fatihah yang disampaikan Kiai Sholeh Darat.
Dalam suratnya kepada sahabat penanya bernama Stella Zihandelaar, bertanggal 6 November 1899., Kartini mencurahkan kegalauannya terhadap agama Islam yang dianutnya. Ia mengkritik para pemangku agama saat itu yang hanya mengajarkan membaca ayat-ayat Alquran tanpa menyampaikan artinya, termasuk guru mengajinya.
"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang shaleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?” tulis RA Kartini pada Stella.
Sementara sebagai perempuan keluarga bupati, ada batasan sosial untuk mengaji lebih mendalam ke pesantren atau madrasah. Ditambah guru mengajinya juga tidak bisa memuaskan keingintahuannya terhadap agama Islam. Walhasil, kondisi ini menambah keputusasaanya dalam beragama. Bahkan ia berpikiran jika gurunya juga tidak tahu arti ayat-ayat Alquran yang diajarkan kepada dirinya.
"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," tulis Kartini dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon, seorang pejabat urusan pendidikan Hindia Belanda.
Memang situasi di masa itu sangat sulit untuk belajar agama secara mendalam karena kebijakan yang ditetapkan penjajah. Salah satunya adalah melarang Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, seperti bahasa Jawa.
Akibatnya umat Islam di masa itu banyak yang tidak memahami agamanya dengan baik, termasuk RA Kartini. Mayoritas Alquran hanya sebatas dibaca tanpa diketahui makna atau setidaknya artinya.
Namun, perlahan tapi pasti, pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat menjadi momentum hijrahnya. Pertemuan itu terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kebetulan dalam kesempatan itu, Kiai Sholeh Darat menafsirkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa. RA Kartini pun terkesima, ia menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.