REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilma Asharina – Peminat sejarah Islam di Indonesia
Semasa menjalani pingitan bersama kedua adiknya (Roekmini dan Kartinah-pen), berbekal sifat kritis dan kemampuan berargumennya, Kartini membawa sentuhan baru dalam konteks interaksi satu sama lain. Ia berhasil menghilangkan beberapa peraturan adat yang berlebihan seperti kewajiban untuk berjalan jongkok jika hendak melewati orang yang lebih tua; Ia juga meniadakan aturan cara sapa antara adik dan kakak yang terlalu kaku, panggilan dibuat lebih santai namun masih dalam batas wajar kesopanan. Hal-hal yang demikian itu justru menambah kedekatan tiga bersaudara tersebut.
Sepanjang korespondensi, di samping kritik yang kuat dan berulang terhadap tradisi Jawa, Kartini terlihat sangat antusias menunjukkan kecintanya pada kesenian Jawa, seperti batik, gamelan, ukiran kayu, serta kerajinan lainnya. Kartini sering berdiskusi dan mengajukan gagasan tentang motif-motif ukir baru kepada para pengrajin. Rekonsepsi inilah yang juga berkontribusi mengkarakterisasi Kartini sebagai perempuan “modern”.
Kartini dan Islam: Keresahan Hati Budak Pingitan
“... Aku tidak bisa memberi tahu atau mengajarimu apa-apa tentang Islam, Stella. Kami dilarang untuk membicarakan tentang agama kami terhadap orang lain. Dan sejujurnya, aku menjadi Muslim hanya karena keturunan semata. Lagipula, bagaimana mungkin aku mencintai agamaku, jika aku saja tidak mengetahui apa isi ajaran ini? al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan. Orang-orang di sini hanya membacanya sebagai ritual, tanpa memahami maknanya. Aku pikir ini lucu-mengajari orang cara membaca Qur’an tanpa memahami apa yang diajarkannya...”
“...Tapi, kita tetap dapat menjadi orang yang baik meskipun tidak religius, yang terpenting adalah menjadi orang baik kan, Stella? Agama dimaksudkan untuk menjadi berkah bagi umat manusia, agar tercipta ikatan yang baik antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Kita semua bersaudara karena kita adalah anak-anak dari satu Bapak, Dia yang memerintah langit di atas. Ya Tuhan, terkadang aku berharap agama itu tidak pernah ada...”
Begitulah sepotong surat Kartini kepada Stella di tahun 1898. Dari kalimat tersebut, tersirat makna bahwa agama tidak begitu penting bagi manusia, yang penting hanyalah berbuat kebaikan. Kartini meyakini adanya Tuhan, namun berpendapat bahwa esensi dari semua agama adalah sama, sebab semua agama didasarkan pada satu sumber-Yang Mutlak. Semua agama dapat bertemu pada level esoteris, kondisi internal atau batin; yang berbeda hanya jalan eksoterisnya saja.
Kebimbangan Kartini juga berlanjut pada pertanyaan-pertanyaan lainnya.
“...Kami berpuasa, menahan lapar, mengerjakan hal-hal yang dititahkan kepada kami. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak kami, mengapa, untuk apa, untuk siapa, agar apa? pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema dalam diri ini. Kami ingin tahu apa makna dari ayat-ayat al-Qur’an yang kami baca, apa arti bacaan shalat kami. Kami ingin mempelajarinya. Kami melakukan dosa–apakah al-Qur’an terlalu suci bagi pendosa? Kiranya orang-orang merasa putus asa, kami ingin tahu, namun tidak ada yang memberi tahu kami. Hingga akhirnya kami enggan mengerjakannya lagi... Langit dan bumi menjadi saksi, jika kami melakukan sesuatu yang salah, hati nurani gelisah, jika berbuat baik maka kepuasan yang dirasakan- itulah yang masih terjadi. Dosa adalah dosa, dan akan selalu begitu–menyebabkan rasa sakit bagi diri dan orang lain...”
Paragraf di atas dimuat dalam buku Kartini- The Complete Writings 1898–1904, namun tidak akan kita jumpai dalam buku Door Duisternis Tot Licht, bagian tersebut dihilangkan oleh Abendanon karena dirasa terlalu sensitif. Paragraf tersebut menggambarkan kebingungan yang bercampur kekesalan. Sangat emosional, Kartini seakan ingin keluar dari kungkungan pertanyaan-pertanyaan filosofis itu, namun tidak ada yang bisa menolongnya.
Keresahan Kartini lainnya adalah perihal poligami. Hal tersebut dilatarbelakangi dari kisah ibu kandungnya sendiri, Ngasirah– yang merupakan selir ayahnya. Kartini pernah menulis surat kepada Stella, dengan nada yang berapi-api, ia menentang poligami.
“...Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa... Betapakah azab sengsara yang harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya sebagai perempuan lakinya yang sah?... harus diterimanya jadi saingannya? Boleh disiksanya, disakitinya perempuan itu sepuas hati selama hidupnya.. Stella, tahukah engkau, betapa sedihnya hati, ingin benar-benar berbuat sesuatu, sedang diri merasa sungguh-sungguh tiada berdaya berbuat begitu.”
Kartini juga pernah menulis surat kepada istri Tn. Abendanon di tahun 1900, yang isinya menekankan pandangan Kartini bahwa kezaliman ini (poligami- pen) bernaung di bawah hukum Islam:
“...Dan dalam keputusasaan, dalam kesedihan, aku menggenggam tanganku - aku - satu-satunya yang kesepian, seorang diri menghadapi monster besar - oh.. menyeramkan! - ini (poligami- pen) di bawah ajaran agama Islam, dan wanita adalah korbannya! Oh! Dan aku pun berpikir apakah takdir mengerikan yang bernama poligami ini akan mendapatiku juga? "Aku tidak ingin.." mulutku berteriak meronta dan hatiku menangis ribuan kali.. Tapi, oh.. apakah pada kenyataannya manusia sejatinya memiliki kehendak? Kita dipaksa ‘wajib’ dari tangisan pertama hingga hembusan napas terakhir…”
Begitulah kiranya Kartini membenci poligami. Sangat terlihat betapa mengerikannya poligami di mata Kartini pada saat itu. Kurangnya fasilitas/akses untuk mempelajari agama dan pergaulannya dengan Barat, semakin menambah ruang feminis dalam diri Kartini. Kartini sempat mengamini pemikiran salah satu tokoh feminis Belanda, Hélène Mercie, yang terekam dalam suratnya untuk Ny. Abendanon,
“... Bagiku, aku tidak takut dan merasa kecewa dengan diriku sendiri, aku sangat yakin..., aku percaya aku telah menemukan gambaran ideal seorang wanita: bermoral tinggi dan berkembang secara intelektual, itulah mahkota terindah yang menghiasi seorang wanita. Moedertje juga telah menyadari ungkapan mahsyur dari Hélène Mercier kan?: 'kita dapat menjadi manusia, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya’!”
Pernah satu waktu Ny. Abendanon membalas surat Kartini, “...Aku sangat mengerti perasaanmu (Kartini-pen), aku sangat prihatin dengan kondisimu.. tidak diakui dan ditindas sebagaimana yang masih banyak dialami oleh wanita di banyak negeri di zaman pencerahan ini... Aku membelamu dengan lantang dan sepenuh hati” Agaknya korespondensi-korespondensi seperti itulah yang membuat Kartini memiliki semangat yang lebih untuk menyuarakan emansipasi kaum perempuan. Kartini merasakan simpati yang teramat dalam dari sahabat penanya tersebut.
Kartini juga kerap kali menulis surat tentang keinginannya untuk mengubah stigma terhadap anak perempuan Bumiputera (Indonesia-pen). Kepada Stella ia menceritakan betapa putus asanya ia menjalani masa pingitan. Beberapa kali ia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Otaknya terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya.
“...seharusnya terlahir menjadi anak laki-laki... Tetapi, ah, lupa saya; kami perempuan Jawa terutama sekali wajib menurut dan sabar tawakal sifatnya: kami wajib jadi tanah liat yang oleh dibentuk-bentuk orang sekehendak hatinya”
Keresahan Kartini pun bersambut solusi dari sang belahan jiwa. Stella mengupayakan Kartini agar dapat melanjutkan pendidikan ke Belanda sehingga menjadi wanita mandiri yang terbebas dari kungkungan seorang makhluk bernama laki-laki.
Selama dipingit, Kartini terus meminta kepada ayahnya agar dapat diberi kesempatan menimba ilmu di Eropa, namun jawaban sang ayah selalu sama, yaitu tidak. Hal tersebut menambah kekesalannya kepada sang ayah, walaupun dalam korespondensi-korespondensinya, tersurat dan tersirat bahwa ia lebih menghormati dan menyayangi ayahnya dibanding membencinya.