REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Libya telah dilanda kekacauan sejak penggulingan Muammar Gaddafi pada 2011. Saat ini, negara penghasil minyak tersebut bertambah kacau setelah dilanda virus Corona atau Covid-19. Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 48 warga yang positif Covid-19 dan satu orang meninggal dunia.
Untuk memerangi penyebaran virus mematikan tersebut, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui secara internasioanal akhirnya memperlakukan jam malam 24 jam pada Jumat (17/4). Kebijakan ini diberlakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 di daerah-daerah yang dikontrolnya, termasuk di Ibu Kota Tripoli.
Sebelum jam malam itu diberlakukan, umat Islam Libya pun segera membeli dan menyetok makanan untuk bulan Suci Ramadhan. Pasalnya, hanya di pagi hari masyarakat bisa membeli roti dan makanan.
Warga ibu kota Tripoli tampak antre mengambil uang di bank dan kemudian membeli makanan. Sementara, Tentara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di Khalifa Haftar terus melancarkan serangan terhadap Tripoli.
Bulan Ramadhan diperkirakan akan dimulai pada 24 April mendatang. Di tengah pusaran konflik, warga Libya pun semakin khawatir dan cemas dengan munculnya virus corona.
"Saya tidak bisa menyalahkan orang yang tidak mengikuti instruksi (jaga jarak) karena mereka lebih menderita," kata seorang ibu yang berusia 52 tahun, Amal.
"Mereka tidak punya cukup uang dan mereka mencoba mendapatkan makanan dari tempat-tempat murah di mana Anda dapat menemukan kerumunan orang di sana," imbuhnya.
Di tengah virus corona, seorang pengangguran bernama Khalid (36 tahun) juga mengaku tidak mempunyai uang untuk membeli makanan. Dia baru saja kehilangan pekerjaannya di sebuah kafe yang telah ditutup akibat adanya virus corona.
“Saya sudah meminjam dari teman dan keluarga tapi berapa lama mereka bisa memberi saya? Mereka juga memiliki keluarga untuk mereka urus,” ujar Khalid.