REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Agama Islam merupakan agama yang sangat menitikberatkan umatnya pada akhlak, ilmu, dan ketakwaan. Tak lengkap keimanan seseorang tanpa hal tersebut.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Ihya Ulumiddin menyebut puluhan dalil Alquran maupun hadits tentang iman dan ilmu. Dijelaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.
Orang yang berilmu juga diibaratkan sebagai orang yang memiliki kelebihan, kejelasan, dan derajat tersendiri. Allah pun menegaskan hal ini dalam Alquran, Surah Al-Mujadalah ayat 11:
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ
“Diangkat oleh Allah orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa tingkat (derajat)."
Tak hanya ilmu, iman juga harus diisi dengan akhlak, ketakwaan, juga rasa malu. Bahkan, dikenal secara lumrah bahwa kedudukan akhlak layaknya lebih didahulukan ketimbang ilmu.
Adapun takwa, manusia dapat memperolehnya dengan menjalani kegiatan kesalehan individual ataupun sosial. Untuk itulah, Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis berbunyi:
"Al-imanu uryanun, wa libasuhu at-taqwa, wa ziynatuhu al-hayau, wa tsamaratuhu al-ilmu,”. Yang artinya: “Iman itu tidak ‘berpakaian’. Pakaiannya ialah takwa, perhiasannya ialah malu, dan buahnya ialah ilmu,”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abi Darda dengan sanad yang dhaif. Meski demikian, hadis ini boleh digunakan dalam konsisi fadhailul-amal (untuk penyemangat ibadah) sebagaimana yang dikatakan Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu.