Sabtu 11 Apr 2020 03:31 WIB

Ulama dan Covid-19

Umat muslim sebaiknya tidak mengabaikan fatwa para ulama yang terpercaya.

Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi (ketiga kanan) bersama Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (ketiga kiri) menyerahkan naskah Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Corona atau Covid-19 di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi (ketiga kanan) bersama Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (ketiga kiri) menyerahkan naskah Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Corona atau Covid-19 di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung

Hingga kini, negeri tercinta masih terus bergumul dengan makhluk Tuhan yang tak kasat mata, yakni virus Corona (Covid-19). Sampai hari ini, penyebaran dan penularannya cenderung menaik signifikan. Kondisi krusial seperti sekarang, mendorong kita untuk mengubah paradigma berpikir dalam menyikapi permasalahan ini. Bukan saatnya lagi mengedepankan egoisme dan apatis terhadap orang lain. Sudah waktunya kita bahu-membahu, memutus rantai penyebaran dan menekan luapan korban jiwa akibat malapetaka ini.

Tepat sekitar tiga  minggu yang lalu (16/3), Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Covid-19. Keputusan yang lahir setelah perenungan serta kajian yang mendalam, mutlak menjadi pedoman pemerintah terkait maslahat keagamaan. Dan umat Islam wajib menaatinya. 

Dalam fatwa tersebut, ulama kembali mengingatkan kepada kita salah satu dari lima  tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams), yaitu menjaga jiwa (kesehatan). Menjaga kesehatan memang bukanlah berada pada urutan pertama, tapi kedudukan serta perannya yang utama, memosisikan kesahatan sebagai dasar dari keempat tujuan lainnya. Terlebih kesehatan akan menunjang keberlangsungan hidup kita.

Dr  Burhan Nafati, dosen Peradaban Islam di Universitas Zaitunah, Tunisia, mengutarakan pendapatnya dalam perihal menjaga jiwa. “Jika kehidupan manusia sudah hilang, tidak ada lagi fungsi dari yang lain (tujuan pokok beragama) serta hilang semua maslahatnya (faedahnya). Karena untuk apa kemaslahatan agama dan dunia terjamin, tetapi malah kehidupan orang yang menjalaninya sudah tiada” paparnya.

Kitab klasik aqidah ternama, Jauharul Tauhid karangan Al-Imam Burhanuddin Ibrahim Al-Laqqoni, menyebutkan bahwa syariat qishash (pembalasan sepadan dengan perbuatan) merupakan implementasi dari menjaga jiwa, yang akan diterapkan bagi mereka yang membunuh seseorang tanpa sebab, maka dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya. Lantas, bagaimana dengan Corona yang mematikan dibiarkan menyebar, dan membunuh ribuan insan akibat perbuatannya sendiri ? 

Sayangnya, masih ada sebagian orang yang beragama hanya berasaskan perasaan, yang tidak bisa dijadikan rujukan atau dalil (ilmu). Sementara, ikhtiyar ulama tidak hanya berdalilkan Alquran dan Sunnah, tetapi juga merujuk kepada arahan dokter yang  ahli dalam persoalan ini.

Beragama bukan melulu masalah rasa. “Saya tidak takut Corona, saya hanya takut kepada Allah.” Bukan pula bersifat angkuh, takabbur atas ciptaan Allah yang mematikan itu. Agama telah menyuguhkan solusi, hukum bahkan model konkret yang terjadi pada zaman Rasul SAW  melewati perantara ulama. Bukankah Allah telah menyatakan, “Maka bertanyalah kamu  kepada ahludz-dzikr (ulama), jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Akhirnya, sebaiknya umat Muslim tidak mengabaikan fatwa para ulama yang terpercaya, terutama yang tergabung dalam lembaga resmi pemerintah. Bukan fatwa atau pendapat seorang ulama atau yang merasa dirinya ulama. Umat Islam mesti mematuhi dan menjalankan fatwa ulama demi kemaslahatan bersama. 

Wallahu a’lam bish-showaab.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement