REPUBLIKA.CO.ID, Waktu memiliki kedudukan berharga di mata manusia. Sejak zaman glasial terakhir, manusia sudah berupaya untuk menghitung waktu dengan kalender. Para pemburu ketika itu menggunakan tongkat dan tulang untuk menandakan fase bulan atau musim.
Berbagai bangsa dari peradaban yang berbeda pun melahirkan cara mengukur waktu beragam. Bangsa Persia memilih air sebagai media pengukur waktu. Mereka menggunakan jam air untuk memastikan distribusi air pada jaringan irigasi. Berbeda dengan bangsa Cina yang menggunakan lilin sebagai penanda waktu.
Pada zaman ini, penghitungan waktu menggunakan standar universal yang biasa disebut dengan Universal Time. Sebuah standar waktu yang menjadi penerus Greenwich Mean Time (GMT). Contoh sederhananya, Indonesia memiliki tiga zona waktu, yakni barat, tengah, dan timur. Dari satu zona ke zona lain berbeda satu jam.
Berharga
Waktu memang berharga. Ada yang menyamakan dengan uang ada pula yang menyamakannya dengan pedang. Sedemikian berharganya, Allah SWT pun bersumpah demi waktu (Ashr) dalam QS al-Ashr.
Quraish Shihab menjelaskan, Kata Al 'Ashr di ambil dari kata 'Ashara yang berarti menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras).
Angin yang tekanannya keras sehingga memorakporandakan segala sesuatu dinamakan i'shar. Menurut Quraish, penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya.
Mengutip Syekh Muhammad Abduh, Quraish menjelaskan, turunnya ayat ini tidak lepas dari kebiasaan orang-orang Arab pada masa turunnya Alquran untuk berkumpul dan berbincang-bincang mengenai berbagai hal.
Tidak jarang, dalam perbincangan tersebut terlontar kata-kata mengumpat sekaligus memuji waktu. Waktu baik jika mereka berhasil dan waktu sial jika mereka gagal. Padahal, waktu merupakan sesuatu yang netral. Tidak perlu disematkan kemujaraban atau kesialan di balik sebuah tanggal atau jam.
Tafsir lainnya, Quraish menulis bahwa pada surah ini, Allah SWT bersumpah demi waktu dengan menggunakan kata Ashr untuk membuat suatu pernyataan. Demi waktu, di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh.
Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu Ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. "Itulah agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata Ashr untuk menunjuk kepada waktu secara umum," kata Quraish dalam tafsir Al Mishbah.
Waktu adalah modal utama manusia. Jika tidak diisi dengan kegiatan positif dan produktif, dia akan berlalu begitu saja. Dia hanya datang satu kali tidak dapat diulang. Tidak juga bisa dimajukan. Apabila datang saatnya, manusia tidak bisa menghindar. "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya me reka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat memajukannya." (QS al-Araf:34).
Waktu juga membuat kita tidak akan pernah bisa merasakan Ramadhan 1441 Hijriyah untuk yang kedua kali. Dia hanya datang pada tahun itu, pada bulan itu, pada hari-hari itu. Dengan sujud yang sama, linangan air mata yang sama, atau doa qunut yang sama. Sesal kita tinggallah sesal saat ibadah pada Ramadhan yang tinggal belasan hari ini tidak juga maksimal.