Oleh: Muhammad Daud Bengkulah & Ali Makhrus el Madyuni, Filolog dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Soal Isra Mi’raj ternyata menjadi kajuan ulama yang menjadi Imam Masjidil Haram asal Palembang yang hidup pada sekitar tahun 1900-an, Syekh Abdul Shamad al Falimbani. Ulama ini ternyata menuis kitab yang bertajuk: Risalah Lathifah Fi bayan Isra’ Wal Mi’raj Syaikh Abdu al-Shamad al-Falimbani.
Konten naskah kibag tersebut sebetulnya bersumber dari QS al-Isra’: 1 yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidilharam ke Masjidil Aqsha, yang telah kami berkahi sekelilingnya, untuk kami perlihatkan kepadannya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dari epistemologi, Isra’ Mi’raj merupakan dua gabungan dari kata “Isra’” dan “Mi’raj” yang bermaksud proses perjalanan dan naiknya Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT. Isra’ secara Bahasa bermakna “perjalanan” di malam hari, sementara menurut istilah adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha di Jerussalem.
Sedangkan “Mi’raj” secara bahasa bermakna “tangga”, dan secara istilah bermakna perjalanan Nabi dari Bumi menuju langit tujuh hingga sampai Sidratul Muntaha.
Isra’ dan Mi’raj , sejak kelahirannya, merupakan salah satu pristiwa kontroversial dalam sejarah peradaban Islam. Sehingga, dalam perkembangganya, Isra Mi'raj menjadi salh satu persoalan teologis bagi umat Islam awal (generasi al-sabiqun al-awwalun).
Selain itu Isra Mi'raj merupakan momentum krusial bagi pengikut Nabi sekaligus fit and propher test kepercayaan dan komitmen umat kepada pemimpinnya, bahkan dicap kafir atau keluar dari barisan umat Islam. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang yakin dan meyakini tentang kenabian, Muhammad SAW, maka mereka berhak menyandang sebagai persatuan umat Islam.
Pada mulannya, Isra’ ialah merupakan kisah tentang perjalanan malam Nabi dari Masjid al-Haram Makkah ke Masjid al-Aqsha Palestina. Sementara Mikraj adalah proses Nabi Muhammad SAW naik dari Masjid al-Aqsha menuju Sidrat al-Muntaha, sebuah tempat yang tidak dapat dijangkau oleh manusia biasa. Dengan situasi kemajuan manusia masa lalu, hal ini memicu berbagai perdebatan dan perselisihan di antara umat, baik internal maupun eksternal Islam. Berkat IM, umat Islam mendapatkan mandat langit untuk menjalankan sholat lima waktu sehari semalam, sebagai wujud kebaktian dan kesetiaan kepada Tuhan, Penguasa Semesta.
****
Secara umum Isra adalah perjalanan malam hari dari Mekkah ke Baitil Maqdis (Palestina) dan Mi’raj adalah naik ke langit sampai ke langit ketujuh dan bahkan sampai ke tempat yang lebih tinggi yaitu Sidrotul Muntaha dan Mustawa. Isra dan Mi’raj dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw ditemani Malaikat Jibril setahun sebelum beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah yaitu pada tanggal 27 Rajab (621 M). para ulama tafsir berbeda pendapat dalam memandang perjalanan Rasullah ini apakah dengan ruh dan jasad ataukah dengan ruhnya saja.
Diantara ulama yang sepakat bahwa Rasullah Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad/fisik adalah diantaranya, Pertama. Abu Jafar bin Jarir At-Thabari (wafat 310 H.) Ia berpendapat bahwa, Allah memperjalankan hamba-Nya Nabi Muhammad Saw dari masjid Al-Haram ke mesjid Al-Aqsha seperti yang dinyatakan dalam ayat ini. Juga dalam banyak hadits, bahwa Allah memperjalankan beliau dengan kendaraan Buraq. Ia sembahyang di situ dengan para nabi dan rasul, lalu Allah memperlihatkan apa yang dapat dilihatnya malam itu.
Kedua, ‘Alaudin ‘Ali bin Muhammad Al-Khazin berkata yang hak, yang dipegang oleh ulama salaf, ulama khalaf, ahli-ahli fiqih, ahli hadits dan ahli ushuluddin, bahwa Nabi Muhammad Saw. dibawa oleh Allah malam hari dengan ruh dan tubuh, karena perkataan “’abdihi” itu meliputi tubuh dan ruh, apalagi kalau memperhatikan hadits-hadits yang sahih yang bertalian dengan isra dan mi’raj ini.
Ketiga, Abu Muhammad Husein Al-Faraa’ yang terkenal dengan kitabnya yang bernama Tafsir Al-Baghawi (wafat tahun 516 H); dan menurut pendapat yang bayak (jumhur) dalam kalangan umat islam, bahwa nabi Muhammad Saw., melakukan perjalanan isra dan mi’raj dengan ruh dan tubuh beliau. Hadits yang shahih banyak yang mengatakan hal itu.
Keempat, Sulaiman bin Umar Al-‘Ujaili, yang terkenal dengan tafsir Jamal mengatakan “Bi’abdihi artinya dengan tubuh dan ruh menurut pendapat-pendapat yang mu’tamad (yang dapat dijadikan sandaran) demikian guru-guru kami mengatakan. kelima. Imam Abul Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud pengarang kitab tafsir yang terkenal dengan nama tafsir Nasafi mengatakan “dan mi’raj itu terjadi satu tahun sebelum hijrah dalam keadaan yaqdzah ( terbangun/ mata terbuka/tidak dalam keadaan tidur).
Menurut pendapat yang shakih (muktamad) bahwa Nabi Muhammad melakukan isra’ adalah dengan ruh, jasad dan dalam keadaan bangun dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Menurut pendapat pembesar ulama salaf (ulama generasi sahabat dan tabi’in) dan kaum muslimin, bahwasanya Nabi Muhammad Isra’ dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan jaga. Inilah perkataan yang benar (haq), yaitu perkataan Ibnu Abbas, Jabir, Anas, Huzaifah, Umar, Dlahak, Sa’id bin Jabir, Qatadah, Ibnul Musayab, Ibnu Syihab, Ibnu Zaed, Hasan, Ibrahim, Masruq, Mujahid, Ikrimah, Ibnu Juraij. Demikian perkataan Thabari, Ibnu Hanbal, jamaah terbesar dari kaum muslimin. Inilah perkataan mayoritas ulama Mutaakhirin dari fuqoha, muhaditsin mutakallimin dan mufassirin.