REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak banyak yang dimiliki pengungsi Rohingya di kamp pengungsian, termasuk bahan makanan. Mengandalkan bantuan kemanusiaan adalah jalan yang bisa mereka lakukan.
Keadaan kamp pengungsian Rohingya tidak jauh berbeda dibandingkan saat ACT pertama kali mendatangi pengungsian terbesar itu pada 2017. Rumah-rumah bambu dan anak-anak kecil berlarian menyambut kedatangan tim.
Menunaikan amanah dermawan, ACT kembali datang mendistribusikan bantuan pangan untuk pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar. Ada 112 paket pangan yang dibagikan kepada pengungsi Rohingya di Desa Bashida Para, Cox’s Bazar, Sabtu (7/3) lalu.
Andi Noor Faradiba dari tim Global Humanity Response (GHR)–ACT menerangkan, sebagian besar penduduk Desa Bashida merupakan nelayan.
“Mereka telah mengungsi ke Desa Bashida sebelum dan sesudah 2017, saat eksodus terjadi. Mereka hanya memiliki kemampuan melaut sehingga tidak memiliki mata pencaharian lain,” kata Faradiba dalam keterangan yang didapat Republika, Kamis (12/3).
Bantuan pangan juga diberikan kepada pengungsi di Kamp Thengkali, Cox’s Bazar. Tim mendatangi salah satu pengungsian tebesar yang menampung puluhan ribu pengungsi.
Di Thengkali, ACT memberikan bantuan pangan kepada 200 kepala keluarga. Sekitar 140 kepala keluarga adalah imam dan muazin di kamp tersebut, sementara 60 lainnya merupakan keluarga yang amat membutuhkan bantuan.
Eksodus Rohingya dari Rakhine ke Cox’s Bazar terjadi Agustus 2017 lalu. Hampir tiga tahun mereka bertahan di kamp pengungsian tanpa kepastian hukum dan hanya bergantung pada bantuan.
Lebih dari 700 ribu mayoritas Muslim Rohingya melakukan eksodus dari Rakhine ke Cox’s Bazar. Jumlah itu menambah sekitar 200 ribu orang Rohingya yang sudah berada di sana.
Eksodus Muslim Rohingya terjadi setelah militer Myanmar melakukan kekerasan dan penyerangan ke sejumlah permukiman Rohingya di Rakhine. PBB menyebut aksi itu dengan “dugaan genosida” dan “pembersihan etnis".