Senin 09 Mar 2020 08:48 WIB

Menjelang Kelahiran Imam Hanafi (1)

Kedua orang tua Imam Hanafi adalah orang yang shaleh dan shalehah.

Menjelang Kelahiran Imam Hanafi. Foto: Imam Hanafi (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Menjelang Kelahiran Imam Hanafi. Foto: Imam Hanafi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KUFAH -- Dikisahkan, beberapa abad lalu di masa akhir era Tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa. Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu.

Dalam kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat. Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati.

Baca Juga

Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.

Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu. Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.

Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.

Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement