REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Para ahli memperingatkan panel pemerintah AS bahwa Muslim India sedang menghadapi risiko pengusiran atau penganiayaan lainnya di bawah undang-undang (UU) kewarganegaraan yang telah memicu protes besar.
Sidang yang diadakan di dalam Kongres ini dipanggil langsung oleh Komisi AS untuk Kebebasan Internasional, Rabu (4/3). Sidang ini dikecam oleh pemerintah India karena dianggap bias.
Seorang akademisi terkemuka yang mendalami kekerasan sektarian di India, Ashutosh Varshney mengatakan kepada panel, UU yang diperjuangkan oleh nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi merupakan langkah untuk mempersempit definisi kewarganegaraan yang inklusif dan sekuler tentang kewarganegaraan demokrasi.
"Ancamannya serius, dan implikasinya cukup menghebohkan. Sesuatu yang sangat merugikan minoritas Muslim dapat terjadi begitu hak kewarganegaraan mereka diambil," kata Varshney yang juga seorang profesor di Brown University, dikutip di Dailymail, Kamis (5/3).
Varshney memperingatkan jika undang-undang tersebut pada akhirnya dapat mengarah pada pengusiran atau penahanan. Bahkan jika tidak sampai ke level tersebut, UU ini tetap berkontribusi pada marginalisasi.
"Ini menciptakan atmosfir yang memungkinkan terjadinya kekerasan setelah Anda mengatakan bahwa komunitas tertentu tidak sepenuhnya India atau status India-nya dalam keraguan besar," katanya.
Parlemen India pada bulan Desember mengeluarkan undang-undang yang mempercepat kewarganegaraan bagi minoritas non-Muslim yang dianiaya dari negara-negara tetangga.
Menanggapi kritik dari komisi AS yang memberikan saran terhadap UU tersebut, Kementerian Luar Negeri India mengatakan hukum tersebut tidak mencabut kewarganegaraan siapa pun. Bahkan Kementerian Luar Negeri India menyebut undang-undang itu harusnya disambut dan tidak dikritik oleh mereka yang benar-benar berkomitmen untuk kebebasan beragama.
Kekhawatiran akut terjadi di negara bagian timur laut Assam. Tahun lalu tempat ini menutup pendaftaran warga yang menyebabkan 1,9 juta orang, mayoritas Muslim, menghadapi kemungkinan tidak memiliki kewarganegaraan.
Seorang pengacara hak asasi manusia dari Assam, Aman Wadud yang melakukan perjalanan ke Washington untuk pemeriksaan, mengatakan bahwa banyak orang India tidak memiliki akta kelahiran atau dokumentasi lain untuk membuktikan kewarganegaraan dan hanya mencari kehidupan yang bermartabat.
Adapun sidang dilakukan tidak hanya berfokus pada India. Para komisioner dan saksi menyuarakan keprihatinan besar atas penolakan Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Salah satu minoritas Muslim yang sebagian besar telah menghadapi kekerasan yang meluas.
Wakil Ketua Komisi, Gayle Manchin juga menyuarakan keprihatinan atas pengucilan kewarganegaraan Bahrain dari aktivis mayoritas Syiah serta sistem ID digital baru di Kenya yang katanya berisiko bagi minoritas.
Lebih dari 40 orang tewas pekan lalu di New Delhi dalam kekerasan sektarian yang dipicu oleh undang-undang kewarganegaraan.