REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Syaltut menegaskan, syariat sebagai sebuah tatanan yang mapan harus tetap terjaga dari titik kelemahan dan segala bentuk penyimpangan. Terlebih, agama Islam merupakan risalah yang universal mencakup suku bangsa dengan ragam tradisi dan kepercayaan yang telah berkembang dan mendarah daging. Sebagai penyampai risalah agung itu, Rasulullah SAW membaca kondisi itu secara baik dan tepat.
Rasulullah memperingatkan umatnya agar tak terjerumus untuk melakukan bidah. Dan, bila dicermati lebih jauh, terdapat tiga penyebab yang memicu tindakan bidah, yaitu kebodohan dalam penguasaan sumber dan metode pengambilan hukum, mengikuti hawa nafsu, dan mempertuhankan akal dalam menyikapi prinsip-prinsip syariat.
Sebab, yang pertama terjadi karena minimnya ilmu tentang referensi hukum dan metode penggunaannya. Sumber hukum yang dimaksud ialah Alquran dan Sunah. Dan, referensi turunannya yang berupa qiyas dan ijma'. Ia menggarisbawahi qiyas tidak berlaku untuk menganalogikan ibadah.
Sebab, kata Syekh Syaltut, qiyas efektif jika ada kesamaan illat atau indikator. Sementara, terkait persoalan ibadah, kaidah yang berlaku ialah menukil dan mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah (ta'abbudi). Karena itu, penggunaan qiyas dalam aspek tersebut tidak sah.
Bila diperinci lebih jauh, papar dia, munculnya bidah diduga karena ketidaktahuan pada sunah, komparasi qiyas, ataupun kurangnya pengetahuan atas gaya bahasa (uslub) yang dimiliki bahasa Arab.