Jumat 28 Feb 2020 23:42 WIB

Muslimah Berobat kepada Lawan Jenis, Bolehkah?

Muslimah berobat dengan lawan jenis merujuk pada unsur darurat.

Muslimah berobat dengan lawan jenis merujuk pada unsur darurat. Resep obat dari dokter (ilustrasi).
Foto: Wikimedia
Muslimah berobat dengan lawan jenis merujuk pada unsur darurat. Resep obat dari dokter (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Setiap penyakit ada obatnya. Menurut Nabi Muhammad, jika sakit telah diobati, penyakit tersebut akan sembuh dengan izin Allah SWT. Dalam pernyataan lainnya, ia menegaskan, Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga menurunkan obatnya. Oleh karena itu, setiap orang termasuk Muslimah yang menderita penyakit mesti berobat.

Lantas bagaimana hukum Muslimah berobat kepada lawan jenis? Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah dan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah melalui bukunya, Fiqih Wanita, laki-laki boleh mengobati perempuan dan sebaliknya perempuan pun boleh mengobati laki-laki jika dalam keadaan darurat. Bahkan kala keadaan terpaksa, dokter laki-laki tak mengapa melihat aurat perempuan yang menjadi pasiennya.

Baca Juga

Rubayyi binti Muawwidz bin Afra meriwayatkan apa yang pernah dialaminya. "Kami ikut berperang bersama Rasulullah dan bertugas melayani dan memberi minum tentara serta mengantarkan jenazah ke Kota Madinah." Keterangan ini dijadikan dasar praktik pengobatan yang melibatkan dokter dan pasien yang berlawanan jenis.

Al Hafiz dalam Al-Fatah memandang boleh mengobati orang-orang berbeda jenis kelamin dalam keadaan darurat. Ibnu Muflih, yang dikutip Sabiq, menyampaikan pendapat senada. Menurut dia, bila suatu saat ada seorang perempuan jatuh sakit dan tak ada dokter yang mengobatinya kecuali laki-laki, tak ada masalah dokter itu melihat anggota tubuh perempuan, termasuk bagian kemaluan.

Di sisi lain, seorang Muslimah dapat berobat kepada dokter perempuan yang non-Muslim. Tentu saja, dokter itu memang ahli dan dipercaya serta tak ada dokter Muslimah yang menguasai spesialisasi ilmu yang dikuasai dokter non-Muslim itu. Syekh Taqiyyuddin menyatakan, seorang Nasrani atau Yahudi yang ahli dalam ilmu kedokteran dan bisa dipercaya boleh diangkat menjadi dokter.

Sebagaimana mereka memperoleh kepercayaan untuk dititipi harta atau menjalin hubungan perdagangan. Ada sejumlah peristiwa yang dijadikan landasan. Sewaktu hijrah, Muhammad mengupah seorang penunjuk jalan bukan Muslim yang sarat pengalaman. Orang-orang dari suku Khuza'ah, baik yang telah memeluk Islam maupun belum, digunakan sebagai mata-mata.

Sayyid Sabiq menuturkan, Rasulullah pernah menyuruh berobat ke Harits bin Kaldah sedangkan dia adalah orang kafir. Hanya saja, sepanjang masih ada dokter Muslim baik perempuan maupun laki-laki berobatlah kepadanya. Sama halnya dengan menitipkan harta dan menjalin hubungan erat dalam perniagaan.

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement