Kamis 27 Feb 2020 22:07 WIB

Prof Din Jelaskan Masalah Umat Islam di KUII

Indikator kuantitatif umat tidak sebanding dengan indikator kualitatif.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin memberikan paparan pada Sidang Pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (27/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin memberikan paparan pada Sidang Pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID,PANGKAL PINANG -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin menjadi pembicara di sesi pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII. Dia mengatakan, masalah utama yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah terdapatnya kesenjangan antara faktor demografis dan peran strategis umat di pentas nasional.

Din mengatakan, indikator kuantitatif umat tidak sebanding dengan indikator kualitatif, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan politik. Dalam bidang ekonomi, angka demografis umat sekitar 88 persen dari total penduduk Indonesia tidak menjelma dalam angka riil penguasaan umat akan aset nasional. Mengingat satu persen penduduk dengan afiliasi agama dan etnik lain menguasai aset nasional lebih dari 60 persen.

"Terdapat pardoks bahwa Islam sebagai agama pendorong usaha dan laba, dan masuk ke Nusantara melalui perdagangan, serta sempat memunculkan sentra-sentra ekonomi dan perdagangan di beberapa daerah, kini terpuruk bahkan terempas ke pinggir arena," kata Din saat menjadi narasumber pada sesi pleno KUII di Hotel Novotel, Bangka Belitung, Kamis (27/2).

Ia mengatakan, upaya pemberdayaan ekonomi umat oleh organisasi-organisasi Islam tertatih-tatih dan mengalami kendala mendasar. Di antaranya lemahnya permodalan dan akses ke dunia perbankan. Pembangunan ekonomi nasional yang membuka pintu lebar bagi kapitalisme global, di samping tidak adanya kebijakan affirmatif (affirmative policies) dari negara berpengaruh bagi keterpurukan umat dalam bidang ekonomi.

Keadaan demikian membawa dampak sistemik terhadap kehidupan umat dalam sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan politik. Infrastruktur kebudayaan umat Islam dalam bidang fisikal-materiil rapuh dan inefektif. Jalan keluar dari umat Islam sendiri tidak cukup berhasil karena dakwah Islamiyah belum terlalu kuat mendorong kebangkitan ekonomi.

"Terdapat jarak lebar antara asumsi penunaian zakat oleh wajib zakat potensial, diperkirakan lebih dari Rp 300 triliun, sementara realisasi pembayarannya per tahun di bawah Rp 20 triliun," ujarnya.

Din mengatakan, problematika keumatan dalam bidang ekonomi membawa dampak sistemik terhadap kondisi umat dalam bidang politik. Di tengah budaya politik pragmatismaterialistik dengan praktek politik uang (money politics) yang merajalela, ketakberdayaan ekonomi telah membawa umat kepada ketakberdayaan politik. Sebab umat Islam tidak berdaya terhadap tipu daya dan pemperdayaan politik sistematis.

Sehingga terjadilah lingkaran setan permasalahan, dari ekonomi ke politik dan dari politik ke ekonomi dan merambah ke sektor-sektor lain. Seyogyanya mata rantai lingkaran setan (vicious circle) ini dapat diputus dengan mengedepankan lingkaran keutamaan (virtous circle).

"Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan agenda strategis dengan sungguh-sungguh dan secara bersama-sama," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement