REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 mampu meminimalisasi terjadinya konflik-konflik agama. Karena itu, Ma'ruf menilai masih perlunya PBM yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah tersebut.
Hal itu disampaikan Ma'ruf saat merespons adanya permintaan untuk mengevaluasi PBM, sebagai dampak masih adanya gesekan di beberapa daerah yang terkait pendirian rumah ibadah seperti mushala di Minahasa Utara dan renovasi gereja di Tanjung Balai Karimun.
"Menurut Kementerian Agama, sejak adanya aturan itu sangat minim terjadinya konflik-konflik," ujar Ma'ruf kepada wartawan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (21/2).
Karena itu, jika hingga kini masih ada persoalan yang berkaitan dengan rumah ibadah, itu berarti karena tidak menggunakan PBM sebagai acuan pelaksanaan. Sebab, dia meyakini jika PBM itu dijalankan, tidak akan terjadi persoalan dalam pendirian rumah ibadah.
Untuk itu, Ma'ruf tak sepakat dengan usulan pencabutan PBM tersebut. Apalagi, Ma'ruf menerangkan, penyusunan PBM tidak hanya dilakukan pemerintah tetapi juga kesepakatan majelis semua agama yang ada di Indonesia.
"Oleh karena itu menurut saya bukan soal pemerintah tapi soal kesepakatan majelis-majelis agama mencari solusi menghindarkan terjadinya konflik itu. Karena itu menurut saya yang harus dilakukan bukan mengubah peraturan itu. Tetapi melaksanakan peraturan itu sesuai dengan aturan," ujarnya.
Ma'ruf menegaskan, semua agama harus mengikuti semua persyaratan yang ada dalam PBM tersebut dalam proses pendirian ibadah.
Menurutnya, tidak boleh ada masyarakat yang menolak atas pendirian rumah ibadah jika memang sudah terpenuhi persyaratan, begitu pun sebaliknya, umat agama tidak boleh memaksa jika belum memenuhi persyaratan.
"Bukan saja untuk misalnya Kristen, tapi Islam juga begitu, daerah-daerah dimana misalnya Islam minoritas terkena aturan, jadi sama sama, solusinya adalah bagaimana aturan itu dipatuhi kesepakatan ini. Kalau itu tidak dipatuhi pasti ada konflik," ujarnya.
Dia melanjutkan, pertimbangan ini juga yang mendasari PBM itu diterbitkan pada 2006 lalu. Ma'ruf, sebagai pihak yang ikut menyusun mengungkap, PBM telah disepakati oleh ketua majelis agama-agama saat itu.
"Waktu itu (saya) mewakili MUI, bersama dengan semua termasuk teman-temen KWI, Romo Benny, Profesor Maria mahkamah konstitusi, Doktor Gultom, semualah tokoh majelis agama. Bahkan yang menyusun itu dapat lencana menjaga kerukunan. Yang tadinya itu tidak ada landasan, konflik dimana-mana," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, sekelompok masyarakat merusak Mushala al-Hidayah di Perum Agape, Desa Tumaluntung, Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara pada Rabu (29/1), dengan dalih tak memiliki izin pembangunan. Penyerangan itu mengakibatkan mushala tersebut rusak. Selama tiga tahun pengurusan, izin mushala itu untuk ratusan warga Muslim tersebut tak kunjung terbit.
Mushala Al-Hidayah biasa digunakan untuk ibadah shalat lima waktu, majelis taklim, dan pengajian anak-anak. Sementara untuk shalat Jumat, warga Muslim setempat masih menunaikannya di masjid yang jaraknya agak jauh.
Sementara cerita lain terjadi di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Pembangunan bangunan baru Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun, terpaksa berhenti lantaran penerbitan izin mendirikan bangunan digugat sekelompok masyarakat. Kelanjutan pembangunan gereja pun terpaksa harus menunggu putusan pengadilan.