Kamis 20 Feb 2020 17:19 WIB

Generasi Salaf yang Bijak dan Rupa Salafi Menurut Kiai Said

Generasi salaf masa awal Islam dikenal justru dengan kebijaksanaannya.

Generasi salaf masa awal Islam dikenal justru dengan kebijaksanaannya. Ilustrasi generasi salaf.
Foto: Wikipedia
Generasi salaf masa awal Islam dikenal justru dengan kebijaksanaannya. Ilustrasi generasi salaf.

REPUBLIKA.CO.ID, Belakangan ini ada tasyabbuh atau kesalahpahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakannya dengan tasalluf, berlagak seperti salaf. Misalnya, orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersurban, berpakaian serba putih, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Tidak hanya secara individual, tetapi sudah melahirkan gerakan salafi yang cenderung eksklusif.

Kata salaf secara bahasa semakna dengan kata qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti yang belakangan. 

Baca Juga

Dalam perkembangannya, makna salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas periode sesudahnya. 

Bahkan, menurut Muhammad Said Ramadhani Al Buth'i, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para sahabat, tabi'in, dan tabi' al tabi'in. Pemahaman ini mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: "Sebaik-baik kurun atau masa adalah masa saya (masa para sahabat), kemudian yang mengikutinya (tabi'in), lalu yang mengikutinya (tabi' al tabi'in)."

Pandangan seperti ini cukup mendasar. Soalnya, periode tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang dituangkan dalam Alquran dan hadis. Sudah selayaknya, jika kemudian generasi sahabat sebagai pendamping setia Rasulullah lebih banyak mendengar langsung ajaran Islam dari beliau.

Namun demikian, tiga dasawarsa setelah wafatnya Rasulullah, umat Islam terbelah dalam partai-partai politik (al firaq Al Islamiyah) yang kemudian mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam teologi. 

Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik salaf. Mau tidak mau, subjektivitas dan fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan bagi setiap individu umat Islam. Jelas, hal ini mematahkan kadar objektivitas dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf.

Dalam pandangan mayoritas ulama, yakni kalangan Sunni generasi tabi' al tabi'in dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf. Sementara di pihak lain, kelompok Khawarij melihat hanya Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Al Khaththab yang memiliki otoritas kesalafan. Pada Utsman dan Ali, menurut mereka, sudah muncul penyimpangan-penyimpangan. Sedangkan, Syiah secara tegas hanya mengakui otoritas kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.

Perpecahan umat semakin kusut. Setiap kelompok mengklaim dirinyalah yang paling benar. Oleh karena itu, sektarianisme tersebut segera dipangkas dengan merujuk pada sabda Rasulullah: "Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku merupakan suatu rahmat."

Maka, bisa dikatakan, salafiyah dalam sejarah Islam dikenal sebagai aliran atau golongan keagamaan yang selalu merujuk pada prototipe al salaf al salih yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur mereka yang bersumber pada Alquran dan hadis. 

Mereka mencuat ke permukaan dalam kondisi ketika ada sebagian umat Islam ingin memotong mata rantai bermazhab. Mereka di antaranya ditandai dengan sikap-sikap tasalluf yang selalu menampilkan atribut-atribut salaf secara lahiriah, namun tidak mesti memahami dan melaksanakan nilai-nilai ideal yang diwariskan para salafiyun

Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan satu kunci kesuksesan dahwah mereka. Refleksi hati yang tulus ikhlas akan memancarkan kearifan dalam setiap pengambilan keputusan. Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang sangat subjektif harus dibuang jauh-jauh dalam pikiran dan langkah mereka.

Tidak mengherankan, jika kemudian mereka sering disebut-sebut sebagai salafuna al salih, generasi salaf yang bijak. Karakter salafuna al salih tampak dari sikap mereka ketika menyerap ilmu pengetahuan dan peradaban dari luar khazanah umat Islam.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai salafiyah tidaklah terlepas dari kristalisasi penghargaan ilmu sebagai sebuah sikap ilmiah, sebagai pantulan sikap tulus ikhlas, serta sebagai sebuah refleksi sikap yang arif dan bijaksana. Singkatnya, salafiyah merupakan cerminan generasi yang dinamis dan energik serta penampilan para ilmuwan yang kritis dan lapang dada.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement