Selasa 18 Feb 2020 12:24 WIB

Omnibus Law Ancam Peran Ulama Terkait Sertifikat Halal

MUI tempat bernaungnya berhimpunnya para ulama, zuama, cendekiawan, dan ormas Islam.

Rep: Ali Mansur/ Red: Muhammad Fakhruddin
Omnibus law ancam peran ulama terkait sertifikat halal. Foto: Ilustrasi Omnibus Law Halal
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Omnibus law ancam peran ulama terkait sertifikat halal. Foto: Ilustrasi Omnibus Law Halal

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengkritisi Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) yang dianggap berpotensi menghapuskan peran ulama dalam proses sertifikasi halal. Salah satunya pada pasal 1 angka 10, yaitu pengambilalihan fatwa produk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI.

"Bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara. Pemerintah memberikan kewenangan kepada BPJPH untuk menetapkan kehalalalan suatu produk. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa?” ujar Ikhsan dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Selasa (18/2).

Menurut Ikhsan sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Itu untuk menghindari perbedaan fatwa karena harus bersifat final dan binding. Mengingat, MUI tempat bernaungnya ormas Islam dan tempat berhimpunnya para ulama, zuama, cendekiawan Muslim, dan ormas-ormas.. 

"Karena bila terjadi perbedaan fatwa naka akan menciptakan ketidakpastian hukum atau law uncertainty dan ini akan merugikan pelaku usaha dan konsumen," tutur Ikhsan.

Lanjut Ikhsan, jika RUU Cilaka mengesahkan ketentuan pasal tersebut maka sama halnya BPJPH,  Kementerian Agama dan Negara mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya MUI. Pastinya ini akan berhadapan dengan Umat Islam.

Ikhsan menambahkan, pada RUU Cipta kerja pasal 4, memasukan ketentuan norma dengan cara menyisipkan sebuah pasal baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini jelas tidak lazim kalau pun boleh dilakukan, maka sebenarnya Pemerintah sedang menciptakan fase kemunduran 30 tahun kebelakang. Tentu saja hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat.

"Logo halal MUI selama ini sebagai penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha," terangnya.

Justru, kata Ikhsan, dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain. Jika ketentuan ini dipaksakan, maka negara sedang meruntuhkan bangunan moral yang selama ini dilakukan oleh para ulama.

Kemudian akibatnya, bisa menciptakan disintegrasi antar ulama dan ormas Islam katena ketentuan pasal. Bahkan RUU ini berpotensi membuka ruang kepada semua Ormas Islam untuk memberikan fatwa tertulis atas sebuah produk. Justru ini kemunduran cara pandang Pemerintah yang akan memboroskan anggaran Negara untuk memperbaikinya

"Ini sangat berbahaya karena Ulama yang selama ini telah bersatu dalam rumah besar MUI akan terpecah-pecah.Karena semua diberikan ruang untuk berfatwa yang diizinkan negara. Maka persatuan umat Islam tidak akan pernah terjadi," tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement