Selasa 18 Feb 2020 06:35 WIB

Bermula dari Masjid (2)

Masjid telah lama menjadi pusat kegiatan Islam.

Bermula dari Masjid. Foto: Sejumlah jamaah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka
Foto: Republika/Syahruddin El-Fikri
Bermula dari Masjid. Foto: Sejumlah jamaah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa-masa berikutnya, masjid kian berperan. Tak hanya ruangan masjid yang digunakan para guru bersama murid-muridnya dalam kelompok belajar, masjid juga kemudian menjadi bagian penting bagi keberadaan sebuah lembaga pendidikan.

Pada abad ke-10, terdapat tipe baru dari perguruan tinggi yang menggabungkan masjid dengan Khan atau penginapan mahasiswa  yang berasal dari luar kota. Badar Ibn Hasanawayh, seorang penguasa Muslim, mendirikan kompleks masjid dan penginapan.

Baca Juga

Langkah ini bertujuan agar para mahasiswa hukum bisa melanjutkan studinya dalam jangka panjang. Biasanya, empat tahun untuk studi sarjana. Terkadang, mereka juga sampai tinggal di sana hingga puluhan tahun.

Ini terjadi jika mahasiswa tersebut melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana dan mahasiswa itu pun ikut membantu gurunya mengajar.

Bangunan masjid sendiri tak dapat digunakan untuk penginapan, kecuali dalam keadaan khusus.

Penginapan mahasiswa itulah yang akhirnya berevolusi menjadi madrasah, selain sebagai tempat penginapan para staf pengajar dan mahasiswa. Kompleks semacam ini sebenarnya mengikuti tradisi yang sudah lama berlangsung di masa Nabi Muhammad SAW.

Yaitu, masjid terhubung dengan sebuah bangunan lain yang berfungsi sebagai sekolah dan asrama bagi siswa miskin dan orang-orang dari luar negeri atau para musafir yang membutuhkan tempat yang cukup nyaman untuk berehat.

Bantuan bagi para siswa yang belajar di masjid itu juga banyak diberikan. Di Masjid Qarawiyin, misalnya, para mahasiswa tidak hanya dibebaskan dari pembayaran biaya, tetapi juga diberikan tunjangan keuangan secara berkala.

Semua mahasiswa yang tinggal di madrasah yang biasanya mampu menampung 60 hingga 150 siswa menerima bantuan. Minimal, bantuan itu berupa makanan dan akomodasi. Di setiap madrasah, juga dilengkapi dengan fasilitas lengkap.

Yaitu, perpustakaan, dapur, toilet, dan beberapa ruang untuk perabotan. Seorang pelancong, Ibnu Jubair, saat berkunjung ke Damaskus, Suriah, melaporkan keberadaan berbagai macam fasilitas tersebut.

Dalam catatannya, Jubair menggambarkan keberadaan fasilitas yang ada di Masjid Umayyah, yang biasanya diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Ia bahkan menyatakan, jika orang Barat ingin menuai kesuksesan dalam studi, datanglah ke sana.

Sebab, jelas Jubair, bantuan bagi para mahaiswa di kota tersebut melimpah. Mereka tidak perlu khawatir tentang makanan dan tempat tinggal. Dalam konteks ini, para penguasa Muslim memainkan peran penting.

Tak hanya penguasa di Damaskus, tetapi juga di tempat lainnya. Pada 1365, di Kairo, Mesir, Pangeran Dinasti Mamluk, Yalbagha Al-Umari, memerintahkan setiap mahasiswa di Masjid Ibnu Thulun diberikan uang sebanyak 40 dirham dan sejumlah gandum setiap bulan.

Pemberian ini untuk memenuhi kebutuhan hidup para mahasiswa itu. Dinasti Mamluk juga membayar gaji dan tunjangan sejumlah besar guru dan murid. Sehingga, kebutuhan hidup mereka juga terpenuhi dan membuat mereka berkonsentrasi penuh dalam mengajar.

Di Masjid Qarawiyin, pihak penguasa juga menyediakan fasilitas yang menunjang tradisi keilmuan. Sultan Al-Mutawakkil Abu Inan mendirikan  perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap. Ia juga menggaji pustakawan untuk mengurus perpustakaan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement