REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid telah lama mewujud menjadi pusat kegiatan. Ini telah dirintis sejak masa Rasulullah. Tak hanya sebagai tempat pengajaran agama, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial. Lalu, kondisi ini berlanjut saat pemerintahan Islam membentang luas.
Masjid menjadi pusat kegiatan menimba ilmu. Banyak pelajar yang dahaga akan ilmu, bergegas menuju masjid untuk mendengarkan uraian dari para cendekiawan. Layaknya zaman Rasulullah, tak hanya pengajaran agama yang dilakukan di sana tetapi juga ilmu pengetahuan.
Lalu, berdirilah sejumlah sekolah yang didirikan di masjid. Sekolah pertama yang berhubungan dengan masjid, didirikan di Madinah pada 653 Masehi. Pada tahun 900, hampir setiap masjid di wilayah Muslim memiliki sekolah bagi pendidikan dasar anak perempuan dan laki-laki.
Mereka biasanya mulai bersekolah pada usia lima tahun. Salah satu pelajaran pertama yang diajarkan adalah belajar menulis 99 nama Allah SWT yang paling indah, dan ayat-ayat paling pendek dari Alquran.
Setelah mereka mampu membaca, menulis, dan menguasai dasar-dasar Alquran mereka diajari mengkaji kitab suci tersebut dengan lebih saksama. Bagi yang ingin belajar lebih lanjut, mereka harus melangkahkan kakinya ke masjid yang lebih besar.
Pendidikan di masjid yang lebih besar merupakan pendidikan lanjutan. Subjek yang diajarkan juga sangat beragam. Di antaranya adalah tata bahasa Arab, prosa dan puisi Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi.
Format dasar pendidikan yang terdapat di masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dengan Halaqat al-Ilm atau kelompok belajar, yang didefinisikan sebagai suatu kumpulan orang duduk dalam lingkaran atau pertemuan murid di sekitar seorang guru.
Saat seorang murid diizinkan duduk di samping seorang guru, itu merupakan sebuah kehormatan baginya. Seorang guru biasanya bertanggung jawab atas satu kelompok belajar. Semua murid dibebaskan melontarkan kritik atau meluruskan apa yang disampaikan guru.
Tak heran jika di sebuah kelompok belajar, sering terjadi perdebatan sengit antara guru dan murid-muridnya. Ibnu Battuta, seorang pelancong dan penulis asal Maroko, mencatat, terdapat lebih dari 500 siswa hadir dalam kelompok belajar di Masjid Umayyah, Damaskus.
Masjid Amr ibn Al-Ash di Kairo, Mesir, memiliki lebih dari 100 kelompok belajar. George A Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, mengutip Al-Maqdisi, ahli geografi dan sastrawan Muslim abad ke-10 tentang kelompok belajar di masjid-masjid di Kairo.
Al-Maqdisi mengungkapkan, antara waktu Maghrib dan Isya, masjid mereka dipenuhi kelompok-kelompok belajar para ahli fikih, Alquran, adab, serta akhlak. Ia pernah memasuki Masjid Amr ibn Al-Ash itu bersama sekelompok orang Suriah.
Menurut Al-Maqdisi, saat duduk berdiskusi, ia sering mendengar panggilan dari arah yang berlawanan 'bergabunglah bersama kami'. Ternyata, kata dia, ia duduk di antara dua kelompok belajar. Ia mengatakan pemandangan ini terdapat di seluruh masjid di Kairo.
Al-Maqdisi pun berujar, berdasarkan penghitungan yang ia lakukan, terdapat 110 kelompok belajar di masjid yang dikunjunginya itu. Mereka yang mengajar di kelompok belajar yang ada di masjid-masjid, juga merupakan orang-orang mumpuni di bidang masing-masing.
Di Masjid Amr ibn al-Ash, ahli nahwu, Babsyadz, mengajarkan bidang yang dikuasainya itu. Sementara di Masjid Umayyah, Damaskus, Suriah, Ali ibn Thahir al-Qasi al-Sulami mengajar filologi dan kajian bahasa Arab.
Sedangkan di Basra, Irak, Al-Khalil Ibn Ahmad, filsuf yang merupakan salah satu murid Sibawayh, memberikan pengajaran tata bahasa Arab. Ia menjadi pengajar terbesar sepanjang masa. Selain itu, ia juga mengajarkan filsafat di kelompok belajar yang ia bina.
Di Spanyol, muncul sejumlah universitas di Kota Granada, Sevilla, dan Kordoba yang berawal dari kelompok-kelompok belajar yang terdapat di masjid-masjid besar di sana. Sejumlah cendekiawan ternama juga lulus dari lembaga pendidikan semacam ini.
Misalnya, Ibnu Rusyd yang sering dipanggil dengan nama Averroes, seorang cendekiawan dan dokter Muslim terkemuka. Ada juga Ibnu Bajjah, cendekiawan yang menguasai sejumlah bidang, yaitu astronomi, matematika, fisika, musik, dan sastra.
Ada pula pusat pendidikan lainnya yang menjadi buah bibir. Seperti, Al-Qayrawan dan Al-Zaytuna di Tunisia, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyin di Fez, Maroko. Proses pendidikan di Masjid Al-Qarawiyin yang didirikan pada abad ke-9, didukung oleh kehebatan alumninya.
Banyak cendekiawan yang terlibat dalam proses pendidikan di sana, seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim, Ibnu Maymun, dan Ibnu Wazzan. Al-Qarawiyin banyak mempunyai siswa yang berasal dari Afrika Utara, Spanyol, dan Sahara.
Di Al-Azhar, Mesir, juga banyak para cendekiawan ternama yang mengajar dan menjadi alumninya. Ibnu al-Haytham, ahli kimia dan kedokteran, serta Al-Baghdadi, seorang dokter, mengajar kedokteran di Al-Azhar pada abad ke-12.
Ibnu Khaldun, juga mengajar di Al-Azhar menjelang akhir abad ke-14 setelah pindah dari Al-Qarawiyin. Pada masa pendudukan Inggris di Mesir, 1881, di Al-Azhar terdapat 7.600 mahasiswa dan 230 dosen di berbagai bidang.
Di Irak, bidang farmakologi, teknik, astronomi, dan bidang lainnya banyak yang diajarkan di masjid-masjid yang ada di Baghdad. Para siswanya juga datang dari berbagai negara, seperti Suriah, Persia, dan India untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Sementara di Masjid Qarawiyin, Maroko, diajarkan tata bahasa, retorika, logika, matematika, astronomi, sejarah, geografi, dan kimia. Sedangkan di Qayrawan dan Zaytuna di Tunisia, diajarkan tata bahasa, matematika, astronomi, obat-obatan, pendidikan Alquran, dan hukum Islam.
Karya-karya para ilmuwan Muslim yang melakukan kegiatan belajar mengajar di masjid-masjid, seperti Ibn Khaldun, Ibnu Ishaq, dan Ishaq Ibnu Imran Sulaiman pun bertebaran. Banyak dari karya tersebut yang diterjemahkan Constantine dari Afrika pada abad ke-11.
Lalu, karya-karya dari cendekiawan Muslim yang bereputasi itu sampai di luar wilayah, tempat mereka mengajar dan hidup. Karya yang diterjemahkan Constantine itu diajarkan di Salerno, yang ada di selatan Italia.