REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu menjadikan shalat sebagai terminal peristirahatan setelah hati ini lelah menjalani kehidupan, setelah jiwa ini penat menapaki ujian hidup yang begitu berat.
Bila masuk waktu shalat, Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan seraya berkata, ''Wahai Bilal, tenteramkan hati kami dengan shalat.'' (HR Daruqutni) Bagi seorang aktivis dakwah, shalat bisa menjadi ajang untuk kembali menjernihkan dan menyegarkan hati.
Bersyukurlah kita karena Allah SWT telah memerintahkan kepada kita shalat lima kali dalam sehari. Itu artinya lima kali input energi yang bisa kita dapatkan. Namun, Rasulullah bersabda, ''Betapa banyak yang melakukan shalat, namun ia hanya mendapatkan letih dan payah.''(HR an-Nasai).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa tidak selamanya shalat yang kita lakukan akan berpengaruh kepada ketenangan jiwa dan mengembalikan kesegaran hati yang tidak terhingga. Salah satu syarat diterimanya shalat adalah dengan memusatkan seluruh perhatian kita terhadap gerakan shalat yang kita lakukan atau yang lebih dikenal dengan kata khusyuk.
Khusyuk, menurut Imam Ghazali, adalah hudurul qalbi, menghadirkan segenap hati, perhatian dan ketundukan kita kepada Allah SWT. Umar Radiyallahu'anhu berkata, ''Khusyuk bukanlah menundukkan kepala, melainkan menghadirkan hati.''
Alquran menempatkan orang-orang yang khusyuk dalam shalat sebagai orang-orang beruntung, ''Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman, [yaitu] orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.'' (QS. 23: 1-2) Inilah mungkin shalat yang--seperti diisyaratkan Rasulullah, dapat kembali menyegarkan jiwa, bukan hanya gerakan-gerakan shalat tanpa makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari kita.
Bahkan, Ali bin Abi Thalib menjadikan shalat sebagai penghilang rasa sakit ketika beliau terluka oleh panah dan harus dicabut dari tubuhnya. Itulah orang-orang saleh. Kekhusyukan mereka dalam shalat membawa ketundukan mereka di luar shalat.