REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW menyebut seseorang yang jauh dari Allah SWT adalah orang yang tetap melakukan perbuatan keji dan munkar meskipun amalan shalatnya terus dikerjakan.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, maka shalatnya itu tidak lain makin menambah jauh dirinya dari Allah."
Dengan kata lain, shalat yang dilakukan tiap hari hanya sebatas gugur kewajiban, tidak membekas sama sekali dalam perbuatan. Padahal, dalam surah al-Ankabut: 45 dijelaskan bahwa sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar.
Lalu, mengapa bisa begitu? Kita berikan gambarannya sebagai contoh sederhana.
Betapa banyak orang bertanya dan berusaha mencari jawaban terkait cara mengubah perilaku seseorang dari buruk menjadi baik. Atas pertanyaan itu sudah sedemikian banyak jawaban yang dihasilkan. Namun ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan itu.
Misalnya, banyak orang percaya pendidikan bisa mengubah watak, perilaku, atau karakter seseorang. Melalui pendidikan, diyakini bahwa seseorang dapat diubah menjadi amanah, jujur, dermawan, tulus, dan ikhlas.
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang telah lama mengenyam pendidikan, tetapi masih saja tidak amanah, dusta, suka menipu, korupsi, sombong, bakhil, dan sejenisnya.
Gambaran lainnya bahwa para guru sebagai pelaku pendidikan yang dipandang masih harus diawasi, diwajibkan membuat laporan, dilakukan penilaian kembali, dan seterusnya adalah sebenarnya menunjukkan kejujuran tidak bisa dibentuk melalui pendidikan.
Demikian pula, banyak pejabat pemerintah, pengelola perusahaan, atau pekerja di bidang apa saja yang mereka itu pasti berpendidikan tetapi masih ditemukan melakukan penyimpangan, korupsi, menyalahgunakan wewenang, dan lain sebagainya.
Kenyataan tersebut menyimpulkan bahwa lulusan pendidikan setinggi apa pun belum menjamin mampu mengubah perilaku seseorang sebagaimana yang diharapkan.
Mengubah watak atau karakter sebenarnya bisa dilakukan melalui shalat. Namun lagi-lagi, pada kenyataannya banyak orang yang sehari-hari menjalankan shalat, tetapi perilakunya tiap hari malah memproduksi dosa dan maksiat. Seolah-olah shalatnya belum menjadi kekuatan yang mampu menahan dari perilaku yang berakibat dosa dan maksiat.
Melihat fakta tersebut bukan berarti bahwa shalat tidak berhasil mengubah perilaku seseorang. Melainkan yang harus dilihat kembali adalah kualitas shalat yang bersangkutan.
Shalat yang mampu mengubah perilaku seseorang adalah shalat yang benar-benar khusyuk. Sesungguhnya shalat (yang khusyuk) itu mampu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar.
Itu artinya sebagaimana tujuan ibadah puasa adalah agar meraih derajat takwa. Di dalam hadis Nabi SAW, banyak orang menjalankan puasa tidak memperoleh pahala puasanya kecuali lapar dan dahaga saja.
Begitupun shalat, banyak orang menjalankan shalat, tetapi tidak memperoleh manfaat dari shalatnya kecuali sekadar menggugurkan kewajiban.
Selama ini banyak orang berdiskusi dan berdebat tentang pelaksanaan shalat. Akan tetapi yang dijadikan bahan diskusi itu bukan menyangkut hakikat shalat. Melainkan baru sebatas teknis pelaksanaan ibadah shalat.
Misalnya, apakah harus membaca "ushalli" di setiap mengawali shalat, membaca doa qunut atau tidak, menggerakkan telunjuk jari ketika membaca tasyahud atau tidak, dan semacamnya.
Berdiskusi tentang hal tersebut penting, akan tetapi kiranya ada yang jauh lebih penting lagi adalah terkait hakikat shalat itu sendiri.
Dengan memahami pengertian ibadah shalat yang benar, maka ibadah tersebut berhasil dijalankan secara tepat dan khusyuk.
قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَۙ
الَّذِيۡنَ هُمۡ فِىۡ صَلَاتِهِمۡ خَاشِعُوۡنَ
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya" (QS al-Mu’minun: 1-2).