REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gerakan ekstrem-radikal mendapat perhatian yang cukup besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Sebagai salah satu upaya pencegahannya, Al-Azhar memasukkan tema-tema kontra narasi pemikiran ektrem radikal dalam kurikulum pendidikan.
“Tema kontra narasi terhadap pemikiran ektrem-radikal mendapat perhatian yang cukup besar dari Al-Azhar. Dalam hal ini, Al-Azhar telah memasukkan tema-tema tersebut dalam kurikulum pendidikan tingkat menengah (SMP-SMA) Al-Azhar melalui mata pelajaran “al-Tsaqaafah al-Islaamiyyah” (kebudayaan Islam),” ujar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama Muchlis M Hanafi dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (1/2).
Menurut Muchlis, langkah-langkah yang diambil oleh Al-Azhar sebagai lembaga keislaman yang konsisten meneguhkan moderasi beragama selama lebih dari seribu tahun layak untuk dijadikan sebagai salah satu acuan.
,Apalagi, hal itu juga sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dan kebijakan Menteri Agama tentang upaya penanggulangan ekstremisme dan radikalisme, serta penguatan moderasi beragama.
Muchlis menyebut ada sejumlah pembaruan pemikiran yang dirumuskan dalam konferensi internasional Al-Azhar ini. Rumusan tersebut antara lain mengindentifikasi bahwa di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok ekstrem-radikal adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis.
Misalnya, anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.
Terkait jihad, konferensi ini merumuskan bahwa jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad.
Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Dalam Islam haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.
"Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan," lanjutnya.
Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, kemudian merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Muchlis menjelaskan dalam salah satu poin rumusan hasil konferensi internasional ini disebut instansi yang berwenang di bidang keamanan dan hukum harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekad yang kuat.
Konferensi Internasional Al-Azhar juga menyoroti masalah khilafah. Dalam salah satu rumusan yang dihasilkan, dituliskan khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka.
Namun demikian, tidak ada ketetapan dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu. Sistem apapun yang ada di era modern ini dibenarkan oleh agama selama mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebebasan, melindungi negara/tanah air dan menjamin hak-hak warga negara apapun keyakinan dan agamanya, serta tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Muchlis baru saja pulang dari Mesir usai menghadiri Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam yang digelar pada 27-28 Januari 2020. Konferensi internasional ini dihadiri oleh para ulama, pemimpin dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Hadir dari Indonesia yakni Prof. Quraish Shihab, Prof. Din Syamsuddin dan TGB. Dr. H. Muhammad Zainul Majdi, MA.