REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Kolam renang terbesar di wilayah utara Kaukasus yang berpenduduk mayoritas Muslim di Rusia mengeluarkan kebijakan yang melarang perempuan berenang di sana. Kebijakan itu sontak memicu kemarahan dan protes dari berbagai aktivis hak asasi manusia.
Mereka menilai kompleks olahraga tersebut melakukan diskriminasi. Kompleks spa Anzhi Arena di dekat Makhachkala, ibu kota republik Dagestan di Rusia bagian selatan, mengumumkan perubahan kebijakannya itu melalui Instagram, Senin (20/1).
"Dari mulai 20 Januari dan seterusnya pelayanan kolam hanya terbuka bagi pria," demikian pernyataan kolam renang di Anzhi Arena, Kamis (23/1).
Kebijakan ini memicu perdebatan di antara penduduk di daerah pegunungan ini. Wilayah ini memang kental dengan nilai-nilai sosial tradisional dan interpretasi Islam yang konservatif. Hal tersebut kerap membuatnya bertentangan dengan sebagian besar wilayah Rusia Eropa yang lebih liberal.
Namun demikian, pengelola kolam renang menyatakan keputusannya menolak masuknya wanita karena alasan finansial. Sebelumnya, kolam renang tersebut masih menerima wanita pada Jumat yang memang khusus untuk sesi wanita.
"Sayangnya, hampir tidak ada pengunjung selama hari-hari khusus wanita. Khususnya karena ini, setelah dianalisis dan evaluasi menyeluruh, kebijakan sulit ini dibuat yang menetapkan hari-hari untuk wanita di kolam kami tidak dapat terus berjalan," kata pengelola kompleks spa tersebut di halaman Instagramnya, seperti dikutip oleh kantor berita RIA.
Adalah hal yang umum di wilayah utara Kaukasus fasilitas olahraga menawarkan akses terpisah bagi pria dan wanita pada hari-hari dalam sepekan. Namun, larangan penuh bagi wanita menggunakan kolam renang ini dinilai para aktivis bertentangan dengan konstitusi Rusia.
Fatima Abdulkhalimova (31 tahun) mengatakan dia tidak bisa lagi menggunakan kolam, meskipun dia bekerja di sana sebagai instruktur. Saat ini, mantan perenang profesional itu bahkan tidak diizinkan memasuki arena kolam tersebut.
"Saya pikir ini ada hubungannya dengan agama, saya percaya itu karena banyak orang yang religius datang ke sini," kata Fatima.
Ia mengungkapkan, akses ke kolam awalnya diizinkan bagi pria dan wanita. Hingga kemudian, akses masuk ke kolam renang bagi wanita dibatasi hanya dibolehkan pada Jumat.
"Jika hari khusus wanita tidak memungkinkan secara finansial, maka mengapa tidak kembali ke sistem campuran gender seperti sebelumnya," ujarnya.
Sementara itu, tiga perempuan dari Dagestan telah mengajukan keluhan kepada Kantor Kejaksaan daerah dan menuduh kompleks olahraga itu melakukan diskriminasi berdasarkan gender. Salinan dokumentasi mereka ini dibagikan oleh seorang pengacara di Proyek Inisiatif Hak, Olga Gnezdilova.
Salah satu pengadu adalah Svetlana Anokhina, editor platform media online lokal yang fokus pada hak-hak perempuan. Dia mengatakan, praktik memisahkan ruang publik berdasarkan gender sedang meningkat.
"Saya memiliki anak perempuan di sini dan dia memiliki tiga anak perempuan juga. Saya marah karena saya mengkhawatirkan mereka. Saya tidak ingin mereka tinggal di ghetto khusus untuk perempuan," kata Anokhina.
Wanita lainnya mengatakan, ia kerap menggunakan kolam renang tersebut. Namun, izin keanggotaannya telah ditolak bulan lalu. Dia menulis di Instagram pengelola kolam renang mengatakan kepadanya ia tidak bisa membeli tiket karena tidak ada ruang ganti yang cukup bagi pria.