Jumat 17 Jan 2020 16:05 WIB

Sekelumit Sejarah Kaligrafi Arab di Indonesia

Kaligrafi Arab di Indonesia sudah ditemukan pada tahun 1082 M.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Sekelumit Sejarah Kaligrafi Arab di Indonesia. Foto: Seni kaligrafi adalah salah satu kegiatan yang biasa diajarkan kepada para santri pondok pesantren (ilustrasi).
Foto: Antara/Syaiful Arif
Sekelumit Sejarah Kaligrafi Arab di Indonesia. Foto: Seni kaligrafi adalah salah satu kegiatan yang biasa diajarkan kepada para santri pondok pesantren (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kaligrafi Arab yang berasal dari jazirahnya itu sangat populer bagi kalangan Muslim, dan cukup populer juga di kalangan non-Muslim. Kaligrafi Arab merupakan seni yang tak lepas dari perkembangan risalah Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Berdasarkan Hasan Muarif Hambary dalam bukunya Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, tulisan Arab atau kaligrafi Arab merupakan perkembangan lebih lanjut dari alfabet semitik. Alfabet ini terdiri dari konsonan, dan hanya tiga huruf vokal yang berbunyi panjang yang menyertainya.

Baca Juga

Melalui dakwah Rasul, bahasa Arab kemudian menjadi bahasa Islam dan selanjutnya dikenal secara universal. Namun sebelum kedatangan Islam, alfabet Arab memang telah berkembang mengarah kepada kaligrafi. Hal itu sejalan dengan tradisi Arab pra-Islam tentang perlombaan menyusun syair.

Menurutnya, sebagaimana dijabarkan dalam buku tersebut, sebelum kertas belum ditemukan dan pohon papyrus merupakan bahan media penulisan kala itu, telah terdapat dua tipe tulisan yang menjadi cikal-bakal perkembangan seni kaligrafi. Dua tipe itu antara lain gaya naskh yang berbentuk miring (cursive) dengan bundaran-bundaran yang mudah dituliskan, lalu yang kedua adalah tipe kufi.

Adapun tipe kufi ini cukup populer dan dipakai secara luas oleh masyarakat Mekkah, Madinah, dan Kufah. Sehingga di kemudian hari tipe kufi ini akhirnya dijadikan huruf resmi untuk menuliskan Alquran.

Gaya kufi secara umum bersudut (angular), sering ditemukan berupa ukiran atau pahatan pada makam, prasasti, dan mata uang. Kaligrafi gaya kufi ini nyatanya berkembang hingga masa sekarang, dan telah umum digunakan di berbagai dunia Islam.

Peneliti kaligrafi, Ibnu al-Nadim menyatakan, terdapat palin tidak 12 gaya tulisan pokok dengan 12 variasi dalam kaligrafi Islam. Namun, sangat sukar untuk mencari bukti-bukti tipologi yang banyak itu jika hanya mengamati bukti-bukti dari Alquran.

Adapun Peneliti Kaligrafi lainnya, Ibnu Muqla, mengklasifikasikan enam jenis kaligrafi yang berkembang dalam dunia Islam. Keenam tipe itu antara lain sulus, nashk, rihan, muhaqqaq, tauqi, dan riqa.

Karena itu dia mengklaim, bahwa para ahli kaligrafi kemudian berpendapat ibu atau induk dari kaligrafi adalah sulus dan nashk.

Sedangkan orang-orang Persia terutama dari kalangan seniman mengembangkan gaya lain yang disebut ta’liq. Tipe ta’liq ini sebenarnya merupakan pengembangan dari kaligrafi tipe riqa dan tauqi.

Kaligrafi di Indonesia

Dalam arkeologi, terutama arkeologi di Indonesia, tulisan merupakan sumber informasi penting sebagai warisan catatan kehidupan dan masa lampau. Jejak-jejak sejarah dapat ditelusuri dari hadirnya teks ataupun tulisan yang terpahat di suatu wadah tertentu.

Kaligrafi Arab telah ditemukan dalam nisan-nisan di makam Muslim misalnya, atas nama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 1082 Masehi. Selain makam tersebut, terdapat makam lainnya yang nisanya dipahat dengan kaligrafi bertipe kufi—meski hanya sebagian kecil saja pada inkripsi basmallah.

Makam-makam ini berasal antara lain pada abad 15 Masehi. Ditinjau dari sudut pandang kaligrafis, tampak bahwa pada makam-makam Aceh yang berkembang pada abad 17-18, tulisan dalam pahatan nisanya memperlihatkan gaya-gaya kaligrafi tipe sulus dan naskh.

Tak hanya itu, terdapat bukti yang cukup menggambarkan bahwa masyarakat Muslim Indonesia kala itu memiliki nilai estetik yang tinggi dengan merekayasa kesenian. Misalnya, bahan batu kerap dijadikan penerapan ekspresi seni pada makam-makam tersebut yang memiliki bobot satu ton.

Salah satu contoh karya kaligrafis yang indah, terdapat pada makam Sultan Ibrahim Mansur Shah yang terletak di Komplek Museum Negeri Aceh, serta beberapa makam raja Aceh, dan di Komplek Makam Kandang XII. Kemahiran para seniman Aceh kala itu memungkinkan adanya kaligrafi untuk dijadikan media ekspresi seni yang digemari masyarakat Nusantara. Seperti Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan kaligrafi Indonesia juga terjadi di wilayah Cirebon. Di mana wilayah tersebut merupakan wilayah penghasil produk seni dengan diberi nama Produk Trusmi. Dalam karya kaligrafi kontemporer ini, baik yang dihasilkan dalam panel kayu, bahan kaca, kain, atau daun-daunan terdapat unsur atau pengaruh seni Indoensia asli.

Sentuhan Indonesia dala kaligrafi ini merupakan perwujudan wayang sebagai objek karya seni. Para seniman di abad ke-17 dan 19 berusaha menggunakan media wayang sebagai objeknya. Namun karena merupakan perwujudan makhluk, wayang juga digambarkan tersamar dalam bentuk kaligrafi Arab dan tidak mengacu pada identitas atau nama tokoh pewayangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement