Ahad 29 Dec 2019 17:15 WIB

Islam Moderat di Sekolah Indonesia di Arab Saudi

Sosialisasi Islam Moderat disambut baik warga sekolah Indonesia di Arab Saudi.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Islam Moderat di Sekolah Indonesia di Arab Saudi. Foto:  Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa
Foto: Republika/Fuji E Permana
Islam Moderat di Sekolah Indonesia di Arab Saudi. Foto: Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa'adi menyosialisasikan program moderasi beragama di sekolah Indonesia yang ada di Arab Saudi pada 24-27 Desember 2019. Sosialisasi tersebut mendapat sambutan yang hangat dari para siswa, guru dan tenaga kependidikan.

"Sosialisasi dilaksanakan di lingkungan guru dan tenaga kependidikan di Sekolah Indonesia Makkah (SIM), Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Riyadh (SIR)," kata KH Zainut melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (28/12).

Baca Juga

Wamenag mengatakan, saat sosialisasi di sekolah Indonesia juga melakukan dialog tentang program pendidikan keagamaan Islam Kementerian Agama (Kemenag) di sekolah umum. Sekaligus memaparkan gagasan Islam moderat atau Islam wasathiyah. Serta menyampaikan adanya ancaman pemikiran gerakan radikalisme dalam beragama bagi keutuhan kehidupan berbangsa serta bernegara.

Ia menjelaskan, banyak faktor seseorang atau kelompok masyarakat menjadi radikal. Agama tidak menjadi penyebab utama seseorang menjadi radikal. Radikalisme juga bisa bersumber dari masalah ekonomi, politik, dan kesenjangan sosial. "Radikalisme sendiri bisa bermakna positif dan negatif tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut," ujarnya.

Wakil Ketua Umum Mejelis Ulama Indonesia (MUI) ini menerangkan, pandangan radikal contohnya pemahaman yang menganggap paham keagamaannya yang paling benar. Pandangan radikal juga memandang paham dan praktik beragama orang lain salah dan sesat.

Menurutnya, sikap mudah mengafirkan orang Islam dan berlebihan dalam beragama termasuk ke dalam sikap radikal. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, paham radikal menolak konsep final Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Keempat pilar kebangsaan itu adalah kesepakatan yang dihasilkan oleh para tokoh pendiri bangsa pada saat awal pembentukan negara Indonesia. Empat pilar kebangsaan itu tidak boleh diingkari dan harus menjadi pondasi hidup bersama.

"Karenanya, meskipun paham khilafah diakui oleh kalangan ulama sebagai ajaran Islam dan pernah ada dalam sejarah peradaban umat Islam, namun konsep tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Hal itu karena bangsa Indonesia telah memiliki sebuah kesepakatan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila," jelasnya.

Wamenag mengatakan, dalam praktiknya, negara Pancasila menjamin semua agama untuk hidup dan menjamin warga negaranya untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Khilafah bukanlah satu-satunya konsep politik atau bentuk negara dan pemerintahan dalam Islam.

Ia menegaskan, yang wajib adalah mendirikan negara, sedangkan bentuk negara atau pemerintahan dan mekanismenya merupakan wilayah ijtihad. Boleh jadi setiap negara berbeda dan hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karenanya banyak negara Muslim di dunia memiliki bentuk pemerintahan yang beragam.

KH Zainut mengatakan, Indonesia sudah memiliki konsep sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik. Maka secara otomatis konsep khilafah tertolak dengan sendirinya. "(Khilafah) bukan ditolak, tetapi tertolak karena bangsa Indonesia telah memiliki kesepakatan tentang bentuk negara dan dasarnya Pancasila," kata KH Zainut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement