Rabu 25 Dec 2019 05:01 WIB

Pria Berjubah di Perang Pertama Terpanjang AS Lawan Muslim

Pria berjubah melakukan perlawanan sengit pada tentara AS.

Rep: Febryan A/ Red: Nashih Nashrullah
Hingga kini sekolompok Bangsa Moro masih melakukan perlawanan terhadap pemerintah Filipina.
Foto: AP
Hingga kini sekolompok Bangsa Moro masih melakukan perlawanan terhadap pemerintah Filipina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tentara Amerika Serikat (AS) pernah bertempur selama 14 tahun untuk 'menjinakkan' Etnik Moro yang mendiami Pulau Mindanao pada awal abad ke-20. Melawan etnik yang memeluk agama Islam itu, tentara angkatan darat AS melakukan berbagai strategi. Mulai dari diplomasi hingga pembantaian.   

Etnik Moro terdiri atas 13 suku (salah satunya suku Bajau yang tersebar hingga Kalimantan dan Sulawesi) yang semuanya penganut Islam Sunni. Mereka mendiami Pulau Mindanao (dan pulau kecil di sekitarnya) yang kini adalah pulau paling selatan Negara Filipina.  

Pertempuran AS melawan Etnik Maro berawal dari kemenangan Negeri Paman Sam itu dalam perang melawan Spanyol. Penjajahan Spanyol di Filipina selama tiga abad pun berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Paris tahun 1898. AS mengambil alih Filipina, termasuk Pulau Mindanao di mana etnik Maro yang independen bermukim.  

Etnik Maro independen lantaran tak pernah berhasil dijajah Spanyol seutuhnya. Setelah berperang selama ratusan tahun, Spanyol hanya bisa mendirikan bentengnya di sejumlah titik di Mindanao. 

Namun, ketika AS menggantikan Spanyol, tentara mereka hendak menguasai pulau itu seutuhnya dan menaklukkan penduduknya.  

Perang tentara AS melawan etnik Moro dimulai dari  1899 - 1913. Mengutip tulisan Danny Sjursen di laman counterpunch.org, Rabu (25/12), selama periode perang itu, tentara AS harus menghadapi etnik Maro yang ahli menggunakan pisau dan juga bisa menggunakan senjata api.  

Meski 13 suku itu kerap saling bertengkar, tapi mereka selalu bersatu ketika berhadapan dengan para penjajah. Etnik Moro juga memiliki tradisi yang dinamakan juramentado, di mana pria dewasa melakukan ritual mencukur rambutnya dan mengenakan jubah putih. Setelah itu, dengan sebilah pisau dia akan bertarung sampai mati melawan penjajah meski dihunjam ratusan peluru.   

"Tentara AS sangat takut pada mereka. Sebab mereka juga memiliki daya tahan tinggi mengatasi peluru tentara. Sehingga angkatan darat AS mengganti revolver kaliber 0,38 edisi standar dengan pistol Colt 0,45 yang lebih kuat," tulis Sjursen menyitir buku The Moro War karya James R Arnold. 

Awal mula kedatangan AS ke wilayah kekuasaan ke Pulau Mindanao disambut dengan rasa telah merdeka oleh etnik Maro. Sebab, AS dan pemimpin Maro menandatangani perjanjian bahwa AS tidak akan mencampuri hak, martabat dan agama etnik Maro. 

Ternyata, perjanjian yang ditandatangani Jenderal John Bates itu hanyalah pengalihan saja. Sebab, pada 1989 itu AS masih terlalu sibuk melawan pemberontakan di Filipina utara. Setelah utara ditaklukkan AS, perjanjian dengan Moro itu pun dicabut. Perang dimulai.  

Penaklukan awal AS dipimpin Kolonel Frank Baldwin. Dia menggunakan cara-cara brutal dan taktik penuh darah. Namun, caranya dikritik Jenderal George Davis.  

Taktik lebih lunak pun dipakai Kolonel Pershing. Dia mengupayakan pembicaraan secara personal dengan pemimpin Moro, mengurangi penggunaan kekuatan militer, dan membiarkan Etnik Maro melangsungkan tradisinya. "Pada kenyataannya, Pershing adalah salah satu komandan yang paling tidak brutal di Moroland," kata Sjursen.  

Ketika Jenderal Leonard Wood mengambil alih penaklukan etnik Moro, strategi pun berganti. Dia menerapkan strategi bumi hanguskan. Dia menangkap dan membantai penduduk, tapi perlawanan Moro tak kunjung padam.  

Sjursen menulis, dalam sebuah pertempuran di Pulau Jolo, Wood berhasil membunuh 1.500 orang etnik Moro sedangkan tentara AS hanya tewas 17 orang. Ketika media AS mendengar kabar pembantaian yang dia lakukan, Wood tak segan-segan berbohong dan memalsukan laporannya. 

Selama proses penaklukan itu, tentara AS sudah berangsur mulai menerapkan pajak kepada etnik Moro. Jalan, sekolah dan infrastruktur dibangun. Namun hal itu memicu matinya ribuan orang etnik Moro. 

Pembantaian massal itu, tulis Sjursen, dimulai tahun 1905 ketika sektitar 1.000 keluarga etnik Maro di Pulau Jolo pindah ke kawah gunung api besar yang tak aktif lagi bernama Bud Dojo. Mereka pindah karena menolak membayar pajak.   

Mayor Hugh Scott yang ketika itu sebagai pemimpin di Pulau Jolo hanya membiarkan. Dia yakin para penduduk itu akan turun dengan sendirinya karena kehidupan di atas gunung snagat lah sulit. Namun, ternyata strategi berganti ketika Scott cuti dan kepemimpinan diambil alih Komandan Leonard Wood. 

Pada 5 Maret 1906, pasukan Wood yang besar telah mengepung Gunung Bud Dajo dan dia segera memerintahkan serangan frontal tiga cabang. Orang Moro yang hanya dipersenjatai pisau dan batu melawan dengan keras. Namun, pada akhirnya tetap yang terjadi adalah sebuah pembantaian. 

Dengan senapan mesin, artileri dan ratusan senapan, tentara Wood menembaki orang Moro. Sekitar 1.000 orang (termasuk perempuan dan anak-anak) Moro tewas sementara hanya enam orang tentara AS yang mati.  

Wood pun membanggakan pembantaian itu dan menyebutnya sebagai sebuah kemenangan. Bahkan dia berfoto di tumpukan jasad pembantaian. Belakangan, foto itu tersebar dan mendapat kritikan keras dari publik AS.  

Mark Twain, salah satu sastrawan anti-imperialisme mengkritik pembantaian itu secara keras. "Kita benar-benar melenyapkan mereka semuanya, bahkan tidak meninggalkan seorang bayi yang hidup untuk menangisi ibunya yang sudah meninggal," kata Twain.  

Seratus tahun lebih telah berlalu sejak perang 14 tahun melawan AS, ternyata kini etnik Moro di Mindanao masih melakukan perlawanan. Kali ini mereka melawan Pemerintah Filipina. Hingga hari ini, kata Sjursen, terdapat sejumlah kelompok di sana seperti Kelompok Abu Sayyaf dan kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MNLF).  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement