Jumat 20 Dec 2019 05:33 WIB

Pentingnya Menutupi Aib Diri dan Orang Lain

Mengetahui aib diri dimaksudkan untuk mengenali kapasitas diri.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Pentingnya Menutupi Aib Diri dan Orang Lain.
Foto: blog.science.gc.ca
Pentingnya Menutupi Aib Diri dan Orang Lain.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan semakin masifnya aktivitas manusia di media sosial, tak sedikit dari realitas tersebut diisi oleh hal-hal yang kurang baik. Salah satunya adalah mengumbar aib diri atau bahkan aib orang lain.

Padahal dari jauh-jauh hari, agama telah memberi tuntunan bagi manusia untuk menjaga aibnya agar tidak menjadi konsumsi publik. Imam Malik dalam kitab Al-I’lan bit-Taubikh As-Sakhawy menjelaskan, sangat disayangkan apabila seseorang yang aibnya tak ditampakkan ke publik, justru mulai menggunjing aib orang lain. Akhirnya tak sedikit dari gunjingan tersebut membuat Allah menampakkan aibnya sendiri.

Baca Juga

Sebaliknya, kata beliau, orang-orang yang dulunya memiliki aib, namun menjaga lisan dan sikapnya akan menggunjing tentang aib orang lain, seiring berjalannya waktu, aib dirinya justru dilupakan orang-orang. Hal itu menjadi bukti Allah memang menolongnya.

Dalam hal ini, Allah telah berjanji untuk hal tersebut. Hal itu dikuatkan dalam hadist riwayat Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Wa man satara ala muslimin fii ad-dunya satarallahu alaihi fi ad-dunya wal-akhirah,". Yang artinya: "Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang Muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat".

Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, seseorang perlu mengenali aibnya sendiri terlebih dahulu. Namun, aib tersebut tidak boleh diumbar sebab dikhawatirkan akan menimbulkan efek buruk bagi orang-orang sekitar.

Mengetahui aib diri dimaksudkan untuk mengenali kapasitas diri. Menjadikan hal itu bahan evaluasi untuk terus bergerak menjadi hamba-hamba terbaik di hadapan Allah SWT. Beliau mencatat setidaknya ada empat cara bagi manusia untuk mengenali aibnya.

Pertama, berkonsultasi kepada guru yang terpercaya baik laku dan kata. Guru tersebut dapat memberikan nasihat dan juga tuntunan agar diri kita tak tersesat. Kedua, mencari seorang teman yang jujur, yang memiliki bashiroh (mata hati yang tajam (berilmu) dan teguh pegangannya pada ajaran agama. Teman tepercaya ini juga bisa dijadikan referensi untuk dimintai masukan.

Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan dan cacian musuh-musuhnya. Keempat, bergaul dengan masyarakat.

Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri juga memiliki sifat tercela itu. Kemudian dia menuntut akan dirinya untuk segera meninggalkan, membenci dan menjauhi keburukan sifat tersebut. Seperti tengah berkaca dan membandingkan realitas sosial dengan yang dirasakan oleh diri sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement