Selasa 17 Dec 2019 21:46 WIB

MUI Sarankan Pemerintah Bersuara Lebih Keras Soal Uighur

Posisi pemerintah Indonesia dinilai cukup kuat.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia, Muhyiddin Junaidi
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia, Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyiddin Junaidi, menuturkan pemerintah Indonesia perlu bersuara lantang terkait masalah Uighur di Xinjiang, Cina.

Menurutnya pemerintah jangan terlalu menggunakan 'constructive engagement diplomacy. "Tapi sedikitlah naik ke atas (megaphone diplomacy), agar lantang. Tapi karena kita punya protocol of ASEAN, yang memang jelas mengatakan tidak boleh intervensi. Makanya kita tidak menggunakan megaphone diplomacy," kata dia di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/12).  

Baca Juga

Muhyiddin mengakui, sebetulnya Indonesia tidak boleh mengintervensi kebijakan negara lain, tetapi, dia mengingatkan bahwa ada pengecualian untuk masalah hak asasi manusia. 

Sebab dia menilai masalah HAM itu tidak punya batasan. Apalagi masalahnya sudah sangat jelas dan terekspos ke dunia internasional.  

Menurut dia, yang menjadi sasarannya adalah umat Islam, dan sangat tepat kalau Indonesia sudah melakukan sesuatu. Apalagi Indonesia menduduki posisi di Dewan Kehormatan PBB. “Dan sangat terhormat posisinya di Organisasi Kerjasama Islam, saya pikir sudah tepat sekali kalau sudah melakukan sesuatu," tutur dia.

Muhyiddin mengingatkan, meski Indonesia perlu bersuara lantang soal Uighur, tetapi jangan sampai terjerumus ke dalam pusaran perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat.

Sebab, dia mengakui, AS sebetulnya ingin nasib Cina seperti Myanmar yang dengan kasus Rohingya dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ). "Kalau Uighur masuk ke ICJ, itu akan menjadi malapetaka bagi Cina, dia pelanggar HAM, ya ini kan trade war, kadang negara tertentu gebuk kita dengan menggunakan tangan orang lain, proxy war. Maka kita jangan bermain dengan irama mereka," tuturnya.

Saat ini, papar Muhyiddin, Indonesia menggunakan cara diplomasi constructive engagement. Namun menurut dia sudah seharusnya Indonesia menggabungkan megaphone diplomacy dan constructive engagement diplomacy. "Akan sangat bagus. Kalau Turki kan megaphone diplomacy, urusan lain belakangan, kalau kita kan mikir-mikir dulu," tuturnya.

Muhyiddin melanjutkan, pemerintah Indonesia juga harus mendengar aspirasi umat Islam di Indonesia terkait Uighur. 

Sebab dia mengatakan kalangan umat Islam sudah bersuara soal Uighur. Karena itu dia meminta agar pemerintah bijak dan mengakomodasi aspirsai bangsa dan umat Islam.

"Karena aspirasi itu penting dan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Kalau pemerintah merasa dirinya sebagai pengayom masyarakat sebagai pemimpin masyarakat maka dengarlah suara masyarakat, jangan hanya dekat apabila ada maunya. Karena ini terkait kepentingan umat manusia dan kemanusiaan atas dasar kemanusiaan," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement