REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama HA Helmy Faishal Zaini menegaskan, NU tidak dapat didikte siapa pun termasuk China. Apalagi, kata ia, jika itu menyangkut isu kemanusiaan etnis Uighur di Provinsi Xinjiang.
"Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang independen dan tidak terikat dan tidak bisa didikte oleh pihak manapun," kata Helmy kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan sikap NU sejak awal sudah jelas terkait Uighur. Prinsipnya NU menolak segala bentuk kekerasan dan perlakuan yang mencederai kemanusiaan.
Helmy juga menjelaskan pemberitaan yang tidak benar dari Wall Street Journal tentang adanya rayuan dan bujukan Pemerintah RRC kepada NU agar tidak berkomentar soal Muslim Uighur.
"Pemberitaan itu sama sekali tidak benar. Tidak ada aliran dana apapun bentuknya terkait dengan isu Muslim Uighur," katanya.
Isu kemanusiaan Uighur belakangan terus mengemuka di pemberitaan berbagai media. Terlebih setelah adanya tuduhan kepada tiga ormas Islam yaitu Majelis Ulama Indonesia, NU dan Muhammadiyah yang menerima suap agar tidak berkomentar soal Uighur.
Pada Februari 2019, 15 orang delegasi ormas Islam Indonesia beserta tiga wartawan nasional mengunjungi sejumlah kawasan di Xinjiang untuk melihat dinamika kehidupan keseharian etnis Uighur terutama dalam mengekspresikan keagamaannya.
Wall Street Journal menegarai kunjungan itu disertai berbagai fasilitas untuk delegasi yang masuk kategori gratifikasi sehingga memicu rombongan Indonesia ke Xinjiang itu tidak banyak berkomentar soal Uighur.
Sebelumnya, Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah Muhyiddin Junaidi yang menjadi salah satu rombongan mengatakan kehidupan Uighur yang ditunjukkan kepadanya nampak banyak rekaan.
Menurut dia, terdapat sejumlah setting-an sehingga Uighur nampak dapat mengekspresikan keagamaannya. Padahal terjadi banyak pembatasan kehidupan Uighur termasuk spionase dan tindakan represif China terhadap etnis minoritas di kawasan itu.