Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.
Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Juradi mengatakan, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 lahir sebagai respons atas kebutuhan data majelis taklim (MT). Bahkan, menurutnya, penyusunan PMA ini melalui proses pembahasan yang cukup panjang. Dalam penyusunannya, ia mengatakan, Kemenag melibatkan para pimpinan organisasi MT. [Republika, 13/12]
Membaca berita tentang wacana pengaturan majelis taklim itu membuat saya jadi teringat undangan taklim hari Ahad besok. Ada satu kelompok taklim di rumah sahabat saya Mas Kaji Wisnu Aji dan Frety Yuana Indriasari yang saya dan Lambang ikuti. Sebisa mungkin kita atur jadwal supaya selalu hadir.
Kelompok majelis taklim ini milieu-nya sangat menarik. Para profesional dan pengusaha muda yang sudah "selesai" dengan dirinya. Kemandirian finansial membuat mereka lebih mudah beramar ma'ruf. Kajiannya pun untuk pasangan suami-istri, sehingga yang pinter "berdua". Bukan hanya suami atau istrinya saja.
Kelompok taklim semacam ini sangat marak di Jakarta dan di Indonesia. Seiring dengan datangnya gelombang hijrah.
Kalau istilah Yuswohady dalam bukunya “Marketing to the Middle Class Moslem“ , kelompok ini disebut "Makin muda, makin kaya, makin mudah berderma."
Fenomena ini pun ditangkap Ustaz Dedi Hariadi Hidayat , dai muda lulusan Al Azhar, Kairo, yang tengah naik daun di Bandung dan sekitarnya. "Ibaratnya, sekarang ini kalau tidak ikut taklim, enggak 'gaul'." Tentu ini hanya pengandaian, untuk menunjukkan betapa rasanya tak ada lagi orang Indonesia yang tidak ikut majelis taklim.
Namun, isu tentang PMA no 29 ini tak urung membuat masyarakat gelisah dan mempertanyakan urgensinya. Apa yang sebenarnya dicari pemerintah atas keberadaan majelis taklim?
Berapa banyak jumlah majelis taklim di Indonesia, belum ada datanya. Namun sebagai gambaran, di kota Depok saja, Kanwil Kemenag mencatat ada sekitar 1.000 majelis taklim. Itu baru satu kota dan yang terdata.
Data lain menyebutkan, di tahun 1980-an saat Prof Dr Tutty Alawiyah membentuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), tercatat telah terdaftar setidaknya 140 ribu orang.
Saya membayangkan, jumlah majelis taklim se-Indonesia sekarang ini mungkin sangat fantastis.
Mengapa majelis taklim berkembang sangat pesat? Di antaranya karena bisa belajar agama dengan fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Sifatnya terbuka. Usia berapa pun, profesi apa pun, suku apa pun, dapat bergabung di dalamnya. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam.
Lokasi taklim bisa di masjid, di rumah, di kantor, di café, bahkan dihelat di convention center yang melibatkan ribuan peserta.
Secara etimologi, istilah majelis taklim berasal dari bahasa Arab. “Jalasa” yang artinya duduk dan ta’lim adalah bentuk masdar yang berarti “pengajaran” dengan asal katanya “'allama”. Singkatnya majelis taklim berarti tempat pengajaran.
Menariknya, istilah ini khas dan hanya dikenal di Indonesia. Sedang di negara lain lebih dikenal dengan sebutan halaqah. Dan dalam tradisi tasawuf disebut zawiyah.
Sekalipun “pengawasan” terhadap taklim bukan hal baru. Seperti yang dilakukan pada masa penjajahan Belanda. Namun tetap saja membuat masyarakat curiga. Suara penolakan terdengar di mana-mana.
Tak hanya penjajah Belanda sebenarnya yang memusuhi kesadaran beragama umat. Sejarah mencatat, pada masa Amangkurat I, juga pernah terjadi tragedi politik yang mengorbankan para ulama, santri dan keluarganya.
Pertikaian Amangkurat I dengan adiknya Pangeran Alit yang berusaha menyerang istana dan mendongkelnya dari tahta, memakan korban 6000 ulama dan keluarganya.
Agak sulit menelisik apa yang sesungguhnya terjadi melalui sumber sejarah babad Jawa. Karena tak ada catatan saat peristiwa yang paling mengerikan dalam sejarah Mataram itu terjadi.
Adapun catatan yang ada seperti yang ditulis H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), menyebutkan, sang raja berpesan agar: “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan" (hlm. 38).
Tentu ini juga sulit dinilai obyektivitasnya. Mengingat Belanda berkepentingan untuk menjatuhkan dan menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara. Ada tendesi penulisan sejarah oleh mereka menjadi bias.
Begitupun catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).
Namun yang pasti, tragedi tahun 1648 itu telah terjadi. Mari berdoa supaya tidak terulang kembali.