Ahad 01 Dec 2019 07:57 WIB

Persis: PMA Majelis Taklim Justifikasi untuk Awasi Pengajian

Persis juga mengkhawatirkan PMA itu digunakan sesuai dengan kepentingan penguasa.

Rep: Rossi Handayani, Fuji E Permana/ Red: Ratna Puspita
Masjid Taklim atau pengajian di masjid (ilustrasi). Persatuan Islam (Persis) menilai Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 tentang Majelis Taklim (MT) pada 13 November lalu bersifat politis. Wakil Ketua Umum Persis Jeje Zainudin mengatakan aturan ini merupakan justifikasi pemerintah untuk mengawasi forum pengajian.
Foto: Republika TV
Masjid Taklim atau pengajian di masjid (ilustrasi). Persatuan Islam (Persis) menilai Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 tentang Majelis Taklim (MT) pada 13 November lalu bersifat politis. Wakil Ketua Umum Persis Jeje Zainudin mengatakan aturan ini merupakan justifikasi pemerintah untuk mengawasi forum pengajian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Islam (Persis) menilai Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 tentang Majelis Taklim (MT) pada 13 November lalu bersifat politis. Wakil Ketua Umum Persis Jeje Zainudin mengatakan aturan ini merupakan justifikasi pemerintah untuk mengawasi forum pengajian. 

"Dalam materinya, kami menilai PMA justru lebih bersifat politis untuk bisa jadi payung hukum, dan justifikasi pemerintah mengawasi forum pengajian," kata Jeje pada Sabtu (30/11).

Baca Juga

Di sisi lain, ia juga mengungkapkan, PMA ini juga berpotensi meningkatkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah sedang melakukan pengawasan ketat kepada kelompok masyarakat yang dianggap tidak sejalan tehadap peguasa. Hal ini hanya akan menambah sikap antipati dari sebagian kelompok masyarakat.

Jeje juga mengkhawatirkan PMA itu suatu saat bisa saja diselewengkan pelaksanaannya sesuai dengan kepentingan penguasa. Ia menambahkan hal ini merujuk kepada tujuan PMA, yakni tertuang dalam poin b, yaitu untuk menguatkan peran strategis Majelis Taklim dalam memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam serta memperkuat ketahanan dan keutuhan NKRI.

 

"Jika itu benar-benar terjadi, bukan hal yang mustahil kita mengalami kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ucap Jeje.

Ia turut mengungkapkan kekhawatiran terkait keharusan mendaftarkan Majelis Taklim kepada Kementerian Agama melalui KUA. Hal ini dapat semakin menambah beban tugas pelayananan administratif Kemenag, dan dianggap tidak akan terlaksanakan dengan baik dan benar. 

"Bagaimana repotnya majelis taklim yang jumlahnya mungkin bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan harus terdaftar lengkap dengan pengurus dan para anggotanya," ujarnya.

Selain itu, menurut Jeje, jika keharusan mendaftar sebagai bagian dari cara mendapatkan dana bantuan pembinaan sangat rentan memunculkan pertentangan dan gesekan antara, serta intra pengurus Majelis Taklim. Selain itu, Majelis Taklim yang semula bersifat ikatan sukarelawan, dan kekeluargaan akan menjadi lebih formal, serta birokratis. 

"Tentu saja ini tidak sejalan dengan semangat reformasi yang menghendaki berkurangnya birokratisasi dan ikut campur pemerintah terhadap hak-hak berkumpul dan berserikat masyarakat," kata dia.

Adapun, PMA majelis taklim terdiri atas enam bab dengan 22 pasal. Regulasi ini antara lain mengatur tugas dan tujuan mejelis taklim, pendaftaran, penyelenggaraan yang mencangkup pengurus, ustaz, jamaah, tempat, dan materi ajar.

Regulasi ini juga mengatur masalah pembinaan dan pendanaan. Pasal 20 mengatur pendanaan penyelenggaraan majelis taklim dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, regulasi tersebut akan memudahkan Kemenag dalam mengucurkan bantuan dana kepada majelis taklim. Sebab, menurutnya jika tidak ada regulasi yang mengatur maka tidak bisa memberikan bantuan kepada majelis taklim. Selama ini, menurutnya, belum ada payung hukum yang mengatur tentang majelis taklim di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement