Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir MSi, Ketua Umum PP Muhammadiyah
A. Pendahuluan
Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”. Radikalisme dan khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Narasi waspada kaum “jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikasasi meluas di ruang publik. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.
Jika konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar (2015) disebut “violent movements” (gerakan kekerasan) seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan segala aksi atau tindakan kekerasan di Indonesia maka dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif. Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata.
Dalam posisi yang demikian baik pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya yang Tuhan sendiri melarang tegas karena masuk dalam tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2] : 11, 12, 60; QS. Al-’A`raf [7] : 56, 74, 85; QS. Al-’Anfal [8] : 73; QS. Hud [11] : 85, 116; QS. Ash-Shu`ara’ [26] : 151, 152; QS. Al-Qasas [28] : 77, 83, QS. Al-`Ankabut [29] : 36; QS. Ar-Rum [30]: 41; dll.).
Radikalisme agama memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di belahan bumi manapun. Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks, sebagaimana dijelaskan Esposito dan Deyra (2018): “radicalism is used interchangeably when referring to Islamist radicalism or generically to denote levels of extremity. Islamophobia and Islamist Radicalism are exclusivist ideologies which survive and thrive by blaming, defaming and despising the other and such exclusivist ideologies do not occur in a vacuum.”. Fakta sosial pun tidak terbantahkan adanya gerakan kaum radikalis-ekstirmis seperti Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan berbagai kelompok Jihadis baik di tingkat global maupun nasional dan lokal yang menimbulkan banyak persoalan dan kekerasan dalam perikehidupan umat manusia di era mutakhir.
Namun konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan itu sesungguhnya bersifat universal atau berlaku umum, apakah di tingkat global atau internasional maupun domestik di Indonesia. Peristiwa teror di Masjid Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional, tidak dilakukan orang Islam, bahkan sasarannya jamaah di masjid.
Demikian pula kejadian di tanah air seperti pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga eksodus dari bumi Papua, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara. Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan.
Menurut Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Ryamizard Ryacudu, penyerangan yang tetjadi di Nduga Papua pelakunya “bukan kelompok kriminal tapi pemberontak.” (https://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-46435847, 27/12/2018). Sedangkan Menurut Andreas, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan “tindakan keji sebagai bentuk perlawanan terhadap NKRI,” ujar Andreas kepada Kompas.com, Selasa (4/12/2018), serta bukan merupakan tindakan kriminal biasa, tetapi “teror terhadap negara,” (https://nasional. kompas.com/read/2018/12/04/22052551/anggota-komisi-i- pembunuhan-31-pekerja-di-nduga-papua-teror-terhadap- negara, 27/12/2018).
Demikian halnya —dalam konteks paham radikal— dengan kondisi kehidupan Indonesia yang semakin liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya setelah dua dasawarsa era reformasi. Jika merujuk pada konsep dan istilah awal “radikal” yang pertama kali diperkenalkan oleh Charles James Fox tahun 1797 yang mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam sistem pemilihan dan politik parlemen Inggris. Liberalisasi kehidupan kebangsaan setelah reformasi itu sesungguhnya radikal yang berada di balik Neoliberalisme dan Neokapitalisme yang mengancam Indonesia dan bertentangan dengan eksistensi NKRI yang diproklamasikan dan merdeka tahun 1945.
Setelah empat kali amandemen UUD 1945 banyak aspek mendasar mengalami perubahan yang “esktrem” seperti keberadaan MPR yang tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang sangat liberal, demokratisasi pasal 33 yang mengandung unsur masuknya kepentingan kapitalisme, hilangnya kata “Indonesia aseli” dalam persyaratan menjadi Presiden, otonomi daerah yang menyerupai federasi, dan hal-hal lain yang memunculkan reaksi balik untuk kembali ke UUD 1945 yang aseli dan respons kontroversi lainnya.
Demikian pula dengan praktik hegemoni penguasaan negara dan kekayaan alam Indonesia oleh segelintir pihak yang berselingkuh dengan politik oligarki yang sangat merugikan hajat hidup rakyat serta masa depan Indonesia. Persoalan kebangsaan yang demikian juga tidak terbebas dari tarikan radikalisme dan ekstremisme dalam ranah keindonesiaan yang kompleks.
Karenanya masalah radikalisme sebagaimana pada banyak masalah krusial di Indonesia mutakhir meniscayakan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh agar tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil dalam mengatasinya, karena suatu masalah pada umumnya tidaklah sederhana dan terlepas dari ruang sosiologis yang mengitarinya.