Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Soal deradikalisme hingga Peraturan Menteri Agama soal pendaftaran Majelis Taklim kini menjadi isu riuh rendah pada masa awal pemerintahan Presiden Jokowi jilid kedua. Semua pihak sudah berkomentar. Sebagian besar Ormas Islam menolak. Dan kini terkesan kementerian agama terkesan sendirian.
Bahkan saat ini sudah muncul dalam tataran serius. Yakni, sudah melalui acara resmi bergengsi yakni melalui ajang pidato pengukuhan sebagau guru besar kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di Yogyakarta, kemarin (12/12).
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, dengan terang-terangan meminta konsep deradikalisasi diakhiri dalam menanggulangi radikalisme. Ia mengusulkan konsep moderasi sebagai solusi.
"Indonesia telah tumbuh memiliki bangunan kemoderatan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, masyarakat Indonesia sudah memiliki modal sangat besar yang harusnya selalu bisa menjadi solusi,'' katanya.
Indonesia pun telah pula menyepakati Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Untuk itu Haedar menegaskan, Pancasila merupakan titik temu dari semua ideologi, paham dan orientasi sekaligus menjadi titik tengah bangsa.
Karena itu, ujar Haedar modal bangsa ini perlu menjadi kekuatan kita mencapai Indonesia dan keindonesiaan yang moderat dengan cara yang moderat. Termasuk, ketika kita ingin menghadapi paham-paham radikal.
"Menghadapi radikalpun, kita lakukan dengan cara yang moderat, bukan dengan cara radikal," kata Haedar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Sportorium UMY itu.
Bagi Haedar, Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam lingkungan ekonomi, politik, budaya dan keagamaan. Agar, jalan ke depan sesuai landasan, jiwa, pikiran dan cita-cita nasional.
" Jalan moderasi dipilih sebagai alternatif deradikalisasi menghadapi segala bentuk radikalisme secara moderat. Sebab, jika menghadapi radikal dengan deradikalisasi, itu sama saja memilih jalan radikal. Saya menawarkan, mari kita akhiri deradikalisasi dan kita ganti dengan moderasi," ujar Haedar.
Lalu bagaimana soal PMA mengenai Majelis Taklim? Lahi-lagi hal ini pun bernasib sama. Muhammadiyah dan NU sudah lama menolaknya. Mantan wapres, Jusuf Kalla, pun sudah meminta agar PMA ini direvisi.
Bahkan cendikiawan Muslim Azyumardi Azra meminta agar Menteri Agama Fachrul Razi segera mencabut Peraturan Menteri Agama tentang majelis taklim yang menuai kontra dari banyak masyarakat.
Menurut Azyumardi, negara terlalu jauh mengatur keagamaan yang selama ini dijadikan kaum ibu-ibu untuk menimba ilmu agama.
"Cabut saja itu PMA. Pemerintah jangan terlalu jauh mengatur. Jangan seperti tidak ada kerjaan lain," kata Azyumardi di Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12).
Azyumardi tidak sepakat dengan PMA yang mengharuskan majelis taklim mendaftarkan anggota, berikut mendata KTP anggota sampai melaporkan sumber sana majelis taklim. Harusnya menurut Azyumardi, negara cukup mengatur hal-hal yang pokok saja.
Mantan Rektor UIN Jakarta itu melihat selama ini majelis taklim menjadi forum untuk memperbaiki kehidupan agama, belajar mendalami ilmu agama, mendalami bacaan doa dan bacaan Alquran dan lain-lain.
Azyumardi menilai terlalu berlebihan andai ada ketakutan adanya penyebaran radikalisme melalui majelis taklim. Andai ingin menangkal radikalisme, sebaiknya Kemenag menurut Azyumardi memanggil penceramah yang kerap menyebarkan ujian kebencian.
"Ustaz yang radikal memang ada dan itu sangat sedikit jumlahnya. Ya dipanggil saja ustaz yang bersangkutan. Itu aja yang dikejar," ucal Azyumardi.
Derasnya penolakan kedua hal itu tentu mudah-mudahan menjadi perhatian pihak kementerian agama. Beranikah mereka terus melawan arus? Ingat risikonya juga cukup serius. Sekali lagi, bila nekad diteruskan Kemenag bisa-bisa akan semakin sendirian. Dan ini yang tidak diinginkan semua pihak sebab kementerian ini didirkan untuk menaungi semua ekpresi keagamaan tanpa terkecuali.