Kamis 12 Dec 2019 07:47 WIB

Wapres Minta PMA Majelis Taklim Direvisi

Kemenag berkeras menjalankan PMA Majelis Taklim.

Wakil Presiden KH Maruf Amin saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (11/12).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden KH Maruf Amin saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin mengungkapkan, ia telah secara khusus memanggil Menteri Agama Fachrul Razi untuk membicarakan sejumlah polemik belakangan, termasuk penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. KH Ma'ruf ingin PMA tentang Majelis Taklim yang banyak mendapatkan penolakan tersebut disesuaikan kembali.

Menurut KH Ma'ruf, hal itu ia sampaikan saat memanggil Menag Fachrul Razi pada Senin (9/12). "Nanti PMA-nya disesuaikanlah. (Memang) yang saya bicarakan (dengan Menag) tentang PMA Majelis Taklim karena itu kan mengundang kontroversi," ujar KH Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (11/12).

Baca Juga

KH Ma'ruf yang masih menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, Menag juga sepakat jika PMA Majelis Taklim hanya akan mendata majelis taklim untuk pelayanan dan pembinaan. Selain itu, pendataan majelis taklim tidak bersifat wajib maupun menjadi keharusan.

"Bahwa intinya Kementerian Agama itu akan mendaftar majelis majelis taklim untuk pelayanan dan pembinaan, tetapi memang tidak harus atau tidak wajib. Jadi, bagi mereka yang memang mau didaftar, nanti akan diberikan pelayanan dan pembinaan," ujar KH Ma'ruf.

Selain itu, KH Ma'ruf juga ingin memastikan pendaftaran tidak akan memengaruhi eksistensi dari majelis taklim. Oleh karena itu, majelis taklim yang tidak mau mendaftar masih dapat beraktivitas seperti biasa. "Enggak ada masalah, tapi tidak dapat pelayanan dan tidak dapat pembinaan karena tidak mau," ujar KH Ma'ruf.

PMA Majelis Taklim di terbitkan Menteri Agama pa da 13 November lalu. Hal utama yang disorot dari regulasi tersebut terkait keharusan bagi majelis taklim mendaftar ke kantor urusan agama (KUA) kecamatan.

Dalam PMA 29/2019, aturan pendaftaran yang harus dilakukan majelis taklim tercantum dalam pasal 6. Dalam pasal itu di atur bahwa majelis taklim yang hendak mendaftar diharuskan menyertakan fotokopi identitas pengurus, pengisi materi, dan jamaah.

Selain itu, dalam pasal 9 dan 10 juga diatur bahwa majelis taklim harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang berlaku selama lima tahun. Sedangkan, pasal 19 menyatakan, setiap majelis harus melaporkan kegiatan dan pendanaan setiap akhir tahun.

photo
Ilustrasi Majelis Taklim

Akhir pekan lalu, Fachrul Razi menegaskan, PMA tersebut sudah bagus dan relevan untuk diterapkan saat ini. "Saya tak akan mencabut. PMA itu sudah bagus," kata Fachrul kepada Republika di Padang, Sabtu (7/12).

Fachrul tak mempersoalkan derasnya arus kritik dan argumen kontra sejak keluarnya PMA tentang Majelis Taklim. Ia menegaskan, aturan itu dibuat demi kepentingan masyarakat banyak.

Fachrul menjelaskan, Kemenag ingin memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan agama Islam yang benar di majelis taklim. Ia juga berupaya memastikan orang-orang yang mengajar Alquran, ilmu hadis, ustaz dan ustazah memang orang yang mumpuni di bidangnya.

Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag), Syafrizal, mengiyakan pandangan Menteri Agama tersebut. "Saya belum dapat perintah dari pimpinan. Yang jelas, Pak Menteri sudah menjelaskan di media bahwa PMA itu bagus untuk basis data bagi majelis taklim yang ingin bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pusat, dalam hal ini Kemenag," kata Syafrizal kepada Republika, Rabu (11/12).

Syafrizal mengatakan, PMA tersebut sebetulnya dibuat untuk pendataan. Namun, sejumlah pihak secara politis mengembangkan isunya ke mana-mana. "Karena semua orang kalau ada apa-apa harus tahu di mana alamatnya, siapa ustaz, ustazah, dan kemampuan agama mereka seperti apa. Harus mau (didata) seperti itu kalau mau kerja sama dengan pemerintah," kata dia menekankan.

Syafrizal juga menegaskan, saat penyusunan PMA Majelis Taklim, ormas-ormas Islam diundang dan hadir. Namun, ia berdalih, mereka yang hadir datang secara bergantian. Apakah Kemenag akan mengundang kembali ormas Islam untuk membahas revisi PMA? "Kewenangan kami tinggal melaksanakan perintah. Saya enggak bisa jawab, bukan kapasitas saya," kata dia.

Penerbitan PMA 29/2019 tersebut sebelumnya mendapatkan penolakan yang serempak dari ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persis. Parpol-parpol Islam juga meminta pencabutan aturan itu atau setidaknya revisi. Sebagian pihak menilai regulasi itu mengingatkan dengan pendataan ulama dan pembatasan dakwah pada masa Orde Baru.

Terkait hal itu, Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Kemenag harus mengajak berbagai pihak itu untuk berdiskusi. "Gini, Kemenag harus mengajak bertemu dan mendengar pendapat para pimpinan organisasi Islam yang selama ini mengelola majelis taklim cukup banyak sekitar 59 ribu," katanya di kantor harian Republika, Selasa (10/12).

Setelah mendengarkan pan dangan ormas dan pengelola majelis taklim, ia berharap Kemenag mau mengevaluasi regulasi itu . (fauziah mursid/fuji e permana/haura hafizhah, ed:fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement