Jumat 06 Dec 2019 05:12 WIB

Antara Gawai dan Anak Kita

Belakangan ini kita dihadapkan pada problematika keluarga yang sangat krusial dan pe

Penggunaan gawai menjelang tidur justru membuat anak tidur lebih sedikit dan kelelahan di hari selanjutnya.
Foto: Dailymail
Penggunaan gawai menjelang tidur justru membuat anak tidur lebih sedikit dan kelelahan di hari selanjutnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung

Sungguh, belakangan ini kita dihadapkan pada problematika keluarga yang sangat krusial dan pelik. Kemajuan teknologi komunikasi yang disikapi secara keliru, telah menimbulkan mudharat lebih besar daripada manfaatnya.

Ternyata, bukan hanya anak-anak kita yang ketagihan gawai, melainkan juga orang tua. Ketika orang tua kecanduan, tentu membuat rapuh pendidikan keluarga. Sebab, anak-anak terabaikan. Manakala anak-anak yang kecanduan, mereka akan terhempas dari pelukan.

Teringat sebuah video inspiratif yang mengisahkan seorang murid TK. Sang guru ingin tahu apa cita-cita mereka kalau sudah besar nanti. Ada yang ingin menjadi burung agar bisa terbang tinggi ke angkasa. Ada pula yang ingin menjadi kelinci karena menggemaskan.

Namun, ada seorang murid yang tidak peduli dengan pembicaraan dan hanya mencoret-coret kertas di atas meja. Wajahnya lesu dan matanya sayu. Ketika ditanya, ia ingin men ja di telepon pintar. Sebab, ayahnya membawa ke mana pun pergi. Ibunya selalu mengangkat telepon saat berdering, tetapi tidak pernah menghampirinya di kala ia merajuk dan menangis. Ayahnya selalu sibuk bermain gim, tetapi tidak pernah mengajaknya bermain. Ketika ia minta dipeluk, ayahnya menolak dengan kasar.

Begitu pun ibunya, sibuk chating atau menelepon. Diwaktu tidur pun, ayahnya selalu menaruh gawai di dekatnya. Ibunya juga tidak pernah lupa menge-charge, tetapi sering lupa memberinya makan. Ia ingin jadi telepon pintar agar bisa selalu bersama orang tuanya.

Kisah pilu ini, mengingatkan kita ke masa lampau di saat Nabi Muhammad SAW bercengkerama dengan sahabat. Seketika muncul cucu kesayangan, Hasan bin Ali. Lalu, Nabi mencium dan memeluknya dengan penuh kehangatan. Menyaksikan kejadian itu, al-Aqra bin Habis at-Tamimi berkata, "Aku punya sepuluh anak dan tak seorang pun yang pernah aku cium seperti ini". Mendengar hal tersebut, Baginda SAW menatap tajam kepadanya lalu bersabda, "Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak disayangi." (HR Bukhari).

Sejatinya, anak hidup dalam dunia bermain. Orang tua yang mesti masuk ke alam hidup mereka. Imam al-Gazali ra, seperti dinukil oleh Jamal Abdur Rahman dalam buku Tahapan Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW mengatakan, seusai keluar sekolah hendaknya anak diizinkan bermain yang disukainya untuk merehatkan diri dari kelelahan belajar. Jika anak dilarang bermain dan disuruh belajar terus, akan menjenuhkan pikirannya, memadamkan kecerdasannya, dan membuatnya kurang senang. Dia akan berupaya membebaskan diri dari tekanan perasaannya.

Orang tua wajib memilih dan memilah permainan yang mendidik agar pribadi anak tumbuh baik. Kalaupun diberi mainan gawai, harus didampingi, dibatasi, dan diawasi kontennya. Perlu aturan dan sikap tegas yang dibingkai teladan orang tua sebagai panutan. Namun, apa yang terjadi jika orang tua yang kecanduan? Tentu akan tumbuh anak-anak yang berkepribadian terbelah. Karenanya, orang tua sebagai pemimpin mesti menata diri lebih dahulu, baru belaian hatinya agar terhindar dari sengsara neraka dunia. (QS.66:6).

Pesan Nabi, "setiap kamu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu." (HR Bukhari). Akhirnya, jangan sampai orang tua lebih akrab dengan gawai daripada anaknya. Jika ini terjadi, amanah terbesar yang Allah titipkan akan merana dan terabaikan. Wallahu a'lam bishshawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement